Marhaenist.id – Di Bandung, Soekamo tak hanya belajar menuntut ilmu, melainkan membangun dasar Ideologi Marhaenisme sebuah paham perjuangan rakyat tertindas, yang lahir dari pertemuannya dengan seorang petani kecil bernama Marhaen di pinggiran kota Bandung. Di ruang-ruang diskusi dan rumah kos Haji Sanusi, Soekarno merumuskan ide besar tentang kemerdekaan yang bukan sekadar politik, tapi juga ekonomi dan budaya.
Di Pengadilan Landraad Bandung, saat Soekamo menggugat kolonialisme dalam pidato bersejarah “Indonesia Menggugat” (1930). Bagi Soekarno, Bandung adalah ruang dialektika perlawanan. Di kota ini, nasionalisme tidak hanya dikampanyekan, tapi dijalani sebagai praksis politik.
Delapan dekade setelah pidato, Bandung kembali akan dipertontotan ajang konsolidasi patologi organisasi di tengah carut marut organisasi. Dengan demikian kami Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Bandung menyatakan menggugat, tentu bukan kepada penjajah asing. melainkan kepada penyimpangan internal dalam tubuh Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Kongres ke-XXII yang diselenggarakan di Bandung bukan menjadi panggung ideologi, tetapi terjebak dalam pusaran pragmatisme, kooptasi kekuasaan, dan delegitimasi akar gerakan.
Kongres yang seharusnya menjadi momen konsolidasi kader Marhaenis dari seluruh penjuru negeri, justru dikhianati oleh elit organisasi yang disorientasi. Mereka melihat proses yang tidak demokratis, pengabaian prinsip transparansi, serta masuknya kepentingan ekstemal yang mencederai semangat independensi organisasi. Apa yang dikritik oleh Soekarno dalam kolonialisme, hari ini tercermin dalam praktik dominasi elit dalam organisasi.
Maka, di Bandung hari ini, sejarah seakan mengulang dirinya. Kota ini kembali menjadi saksi menggugat. Jika dahulu Soekarno menggugat kolonialisme Belanda, kini kader-kader DPC GMNI Bandung menggugat kolonialisme baru dalam tubuh organisasi: feodalisme struktural, kompromi ideologi, dan pengkhianatan terhadap cita-cita rakyat. Adapun hasil kajian kami sebagai berikut :
Krisis Hukum: Ketika AD/ART Dilanggar, Demokrasi Dikhianati
Dualisme kepemimpinan DPP GMNI sejak 2019 telah menciptakan ruang abu-abu dalam struktur hukum organisasi. Akibatnya, berbagai produk keputusan-baik kaderisasi, konsolidasi, hingga kongres lanjutan terjerat dalam krisis legitimasi.
Menurut konstitusi internal (AD/ART GMNI), prinsip demokrasi kader dan representasi wilayah adalah dasar legalitas semua proses organisasi. Namun hari ini, justru struktur itulah yang dikooptasi dan dilanggar oleh elite organisasi. Ketika legalitas direduksi menjadi formalitas tanpa akuntabilitas, maka yang terjadi bukan organisasi, tapi oligarki.
Krisis Etika: Organisasi Kader Bukan Alat Rebutan Kursi
Apa yang kita saksikan hari ini adalah kemunduran moral kolektif. GMNI telah digiring menjadi lapangan pertandingan politik kekuasaan, bukan ruang pembentukan karakter kader ideologis. Konflik internal yang tak kunjung usai hanya mempermalukan sejarah panjang organisasi yang seharusnya menjadi pionir gerakan rakyat.
Etika kolektif dalam organisasi kader seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah, pengabdian, dan kepentingan bersama. Ketika kelompok tertentu menutup ruang konsolidasi atas nama “kubu”, “faksi”, atau “afiliasi kekuasaan”, maka itu adalah pengkhianatan terhadap prinsip dasar organisasi kerakyatan.
Krisis Ideologis: Pengkhianatan terhadap Marhaenisme Bung Karno
Bung Karno pernah mengingatkan, “Perpecahan adalah jalan untuk kalah.” Dan hari ini, kita sedang menuju kekalahan itu jika terus membiarkan perpecahan ini berlangsung.
GMNI lahir dari ideologi Marhaenisme, yang berpijak pada keberpihakan kepada rakyat kecil dan semangat persatuan sebagai kekuatan utama melawan penindasan. Ketika GMNI terpecah oleh kepentingan elit dan kehilangan arah perjuangan, maka yang dikhianati bukan hanya organisasi, tapi juga roh ideologi yang menjadi fondasinya.
Krisis Kaderisasi: Kaderisasi Nol Substansi
Kaderisasi adalah jantung dari organisasi perjuangan. Tanpa sistem kaderisasi yang sehat, terarah, dan ideologis, GMNI hanya akan melahirkan kader-kader yang administratif, elitis, dan kehilangan daya juang. Namun realitas hari ini menunjukkan bahwa kaderisasi dalam GMNI telah kehilangan roh perjuangan. Proses pengkaderan direduksi menjadi agenda formalitas belaka, minim pembinaan ideologi, jauh dari kerja-kerja kerakyatan, dan tidak menyentuh persoalan riil masyarakat.
Kongres GMNI XXII, yang seharusnya menjadi ruang untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem kaderisasi, justru menjadi etalase dari kegagalan itu sendiri. Tidak ada perdebatan serius tentang kualitas kurikulum, tidak ada evaluasi terhadap pelaksanaan kaderisasi nasional maupun lokal, dan tidak ada upaya merumuskan arah pembinaan kader di tengah tantangan zaman.
Lebih buruk lagi, proses regenerasi dalam tubuh organisasi dikendalikan oleh kepentingan kelompok, bukan oleh standar nilai dan integritas kader. Kader ditentukan oleh loyalitas semu, bukan oleh kapasitas ideologis dan keberpihakan pada rakyat.
Untuk itu kami menyerukan atas apa yang menjadi kajian lintas komisarisat Se-Bandung Raya sebagai berikut:
1. Seruan DPK-DPK GMNI Se-Bandung untuk membentuk Badan Penyelamat Organisasi (BPO) dari akar dengan keterlibatan DPC/DPD se-Indonesia adalah ekspresi Marhaenisme yang otentik: bahwa kekuatan perubahan datang dari bawah, dari basis, bukan dari struktur atas yang kian kehilangan legitimasi.
2. Seruan DPK-DPK GMNI Se-Bandung untuk penyelamatan kembali ke basis, bersatu atas nama Ideologi GMNI dan harus kembali menjadi alat perjuangan rakyat, bukan alat tawar-menawar elit. Jalan keluar dari krisis ini bukan dengan kompromi struktural semu, tapi dengan membangun ulang kepercayaan dari akar ideologi dan demokrasi organisasi.
3. Seruan DPK-DPK GMNI Se-Bandung untuk rekonsiliasi dari bawah, tanpa syarat dan tanpa diskriminasi, adalah panggilan moral agar organisasi ini kembali ke jalur etikanya; untuk mendidik, bukan mendominasi.
4. DPC GMNI Bandung berkomitmen tidak akan mendistribusikan kepanitian dalam kongres ke-XXII di Bandung sebagai panitia lokal atau apapun, sekalipun ada itu diluar dari kendali dan prinsip kami.
Bubarkan dualisme DPP, bentuk BPO independen dari seluruh daerah ! Laksanakan Konsolidasi Nasional yang terbuka dan ideologis!
Pulihkan kembali GMNI sebagai rumah kader dan gerakan rakyat !
Merdeka…!!!
GMNI…Jaya !!!
Marhaen. Menang !!!
Bandung, 12 Juli 2025
Tertanda: DPC GMNI Bandung, Irfan Ade, Ketua Bagus Surya Nugraha Sekretaris.