Marhaenist.id – Perjalanan saya di GMNI bukanlah kisah yang tenang di permukaan air yang jernih. Ini adalah kisah tentang gelombang yang tak pernah berhenti menggulung, tentang ombak yang mengguncang dasar keyakinan, dan tentang badai yang mencoba meruntuhkan semangat. Dibalik semua itu, ada satu hal yang selalu saya pelajari di GMNI: bahwa perjuangan bukan hanya tentang siapa yang tahu lebih banyak, tetapi tentang siapa yang mampu bertahan lebih lama.
Saya memasuki GMNI dengan idealisme yang membara. Dengan semangat marhaenis, saya berdiri di tengah barisan mereka yang percaya bahwa perubahan sosial bukan sekadar wacana, tapi tindakan nyata. Namun idealisme itu segera diuji. Ombak pertama datang dalam bentuk perdebatan sengit, gesekan pemikiran, bahkan kekecewaan atas realitas yang tak seindah teori.
Di tengah gelombang organisasi, saya belajar bahwa menjadi kader bukanlah perkara mudah. Ada ego yang harus diredam, ada luka yang harus diterima, dan ada kawan yang kadang menjadi lawan dalam dinamika perjuangan. Tapi justru di situlah saya menemukan kekuatan. GMNI mengajarkan saya untuk berdiri tegak, meski kaki gemetar, untuk bicara lantang meski suara parau, dan untuk tetap melangkah meski arah terasa kabur.
Badai terbesar tak datang dari luar, tapi dari dalam: rasa lelah, ragu, dan kecewa. Ada saat di mana saya hampir menyerah, bertanya pada diri sendiri: untuk apa semua ini? Tapi dalam sepi itu, suara ajaran Bung Karno menggema kembali: perjuangan itu adalah pelaksanaan kata-kata. Dan GMNI, dengan segala kekurangannya, tetap menjadi ruang yang membentuk saya, membakar kembali api yang mulai padam.
Saya melihat kawan-kawan datang dan pergi. Beberapa hilang dalam badai, beberapa memilih jalan yang lebih mudah. Tapi saya memilih bertahan. Karena saya tahu, perjuangan ini bukan tentang siapa yang paling cerdas mengutip teori, tapi siapa yang paling kuat menjaga komitmen. Siapa yang tetap berdiri saat yang lain memilih berbaring.
GMNI bukan hanya organisasi. Ia adalah sekolah kehidupan. Ia mengajarkan bahwa idealisme butuh kesabaran, bahwa loyalitas dibuktikan bukan saat senang, tapi saat perih. Bahwa revolusi bukan hanya tentang mengubah sistem, tapi juga tentang mengubah diri. Kini, saat saya menoleh ke belakang, saya melihat jejak yang penuh luka dan peluh, tapi juga penuh makna. Saya tidak menyesal pernah terseret ombak, diterpa gelombang, atau diterjang badai. Karena di tengah semua itu, saya menemukan siapa diri saya sebenarnya.
Saya adalah kader GMNI. Dan saya akan terus berjuang, bukan karena saya tahu segalanya, tapi karena saya memilih untuk bertahan di tengah badai, bersama cita-cita, bersama rakyat.***
Penulis: Musail Waedurat, Kader GMNI Lebak-Banten.