Marhaenist.id – Untuk mendasarkan kehidupan kita pada Pancasila, tak cukup dengan sekedar menghafal rumusan sila-sila dalam Pancasila, melainkan harus terejawatahkan dalam sikap dan perilaku kita sebagai manusia Indonesia. Tanpa perwujudan, Pancasila hanya selesai sebagai hiasan.
Pancasila sendiri secara filosofis adalah konsep umum dan abstrak bagi kalangan masyarakat umum. Harapan terakhir Pancasila untuk dapat dipahami dan di Imani secara utuh dan menyeluruh mungkin hanya tinggal kalangan terdidik. Maka penting sekali operasionalisasi nilai-nilai dari Pancasila dalam bentuk yang paling sederhana dan mudah untuk dipahami.
Dalam Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945, kata Bung Karno, Pancasila jika peras akan menjadi Tri-Sila yang kita kenal yakni Marhaenisme. Tri-Sila jika diperas lagi akan menjadi Eka-Sila yaitu Gotong-Royong. Gotong-royong membangun bangsa Indonesia yang adil dan makmur. Kesederhanaan arti yang usahakan oleh Bung Karno agar Pancasila lebih mudah untuk dipahami dan lakukan dalam kehidupan bersama.
Lalu, apa hendaknya yang menjadi tantangan Pancasila di Era Digitalisasi? Di Era Globalisasi?
Mari kita menjawab melalui refleksi kehidupan hari ini dan kisi-kisi jawaban dari beberapa catatan:
• Pancasila hendaknya dipahami sebagai satu pedoman hidup sekaligus cita-cita manusia Indonesia yang memiliki nilai luhur yang harus dipertahankan dan diwujudkan.
• Tantangan untuk menumbuhkan nilai-nilai Pancasila sendiri terletak pada apatisme manusia Indonesia untuk memahami dan mengimaninya dalam berbagai segi dan bidang kehidupannya.
• Keterpengaruhan budaya dan dominasi luar yang mengantarkan pada kehilangan kesadaran diri dan lupa identitas.
• Kebutaan pada sejarah yang mempengaruhi rasa kecintaan terhadap bangsa, yang menjadikannya sebagai manusia yang tidak berakar pada semangat dan nilai luhur bangsa Indonesia.
• Kata Juri Lina, penulis Swedia.
Kalau ingin menaklukkan sebuah negeri, tanpa melalui sarana militer, cukup lakukan tiga langkah:
1. Kuburkan sejarahnya.
2. Hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tak bisa dibuktikan kebenarannya.
3. Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.***
Penulis: Erik R Sibu, Kader GMNI Halmahera Utara.