Marhaenist.id, Blitar – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Persatuan Alumni (PA) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) melakukan perjalanan untuk berziarah ke Makam Bung Karno di Jalan Ir Soekarno, Nomor 152, Kelurahan Bondogerit, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar, Jawa Timur (Jatim).
Perjalanan itu dimulai dari sembilan orang dari Jakarta. Sesuai jadwal perjalanan atau Itinerary Ziarah ke Makam Bung Karno DPP PA GMNI, berangkat Jumat pagi pukul 06.00 WIB menggunakan kendaraan paraiwisata jenis Hi ce dari Kantor Bangun Tjipta Sarana di Jalan Gatot Subroto Nomor 54 Jakarta.
Selain Pak Sis sapaan akrab Siswono Yudho Husodo yang kini menjadi Ketua Dewan Penasehat DPP PA GMNI, rombongan terdiri dari Sekertaris Jendral DPP PA GMN, Dr Abdy Yuhana, SH, MH, praktisi hukum yang juga mengajar Ilmu Hukum di Universitas Pasundan Bandung.
Bersama rombongan, ada juga Bang Palar (Palar Batubara), Sekertaris Dewan Kehormatan DPP PA GMNI. Lalu Prof Ganjar (Prof. Dr Adv. Ganjar Razuni, SH, MSi, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional yang juga salah satu Ketua di DPP PA GMNI).
Berikutnya ada Mas Ugi (Ugik Kurniadi), Wakil Ketua Umum DPP PA GMNI, ada pula Bang Anton (Dr. Antonius Manurung, anggota Dewan Ideologi DPP PA GMNI), Bang Yori (Yori Yapani, Presidium GMNI 1999- 2002) dan Elo (R. Bg. Angelo Basario Marhaenis Manurung, putra dari Bang Anton).

Mereka merupakan pengurus dan anggota PA GMNI, dan Ello, seorang anak muda, kader aktif pelopor GMNI yang tengah mengejar status sebagai magister di Universitas Tarumanegara Jakarta.
Rombongan DPP PA GMNI menjadi bersepuluh setelah bergabungnya Mas Agung (wartawan senior Pikiran Rakyat Bandung) di Rest Area KM 207 Tol Palimanan – Kanci.
Rombongan kecil ini mencerminkan pelangi dalam lanskap politik, suku dan agama. Ada yang berlatar Jawa, Sunda, Batak dan Padang. Juga ada yang beragama Islam dan Kristen. Pluralitas atau kebhinekaan menjadi salah satu ciri terpenting dari GMNI, organisasi mahasiswa yang didirikan di Surabaya pada 23 Maret 1954.
Setelah beristirahat, Coffe Break di Rest Area Cirebon, sekitar pukul 09.00 WIB, kami langsung melakukan perjalanan ke Kota Blitar melewati sepanjang tol Trans Jawa menuju timur ke arah Semarang dan Jawa Timur.
Mereka sempat beristirahat kembali di Rest Area Km 256, Salatiga, Jawa Tengah untuk makan siang, kemudian melanjutkan perjalanan menuju pintu tol Kertosono untuk menuju selatan ke Kota Kediri, Tulungagung dan tujuan utama di Kota Blitar.
Perjalanan terasa lama dan panjang usai keluar pintu tol Kertosono. Sepanjang lebih dari 60 kilometer, melewati jalan regular yang secara kebetulan sore hari, merupakan jam sibuk arus lalu lintas di sepanjang Kediri – Tulungaung – Blitar.
Perjalanan yang terasa lambat dan lama karena melewati daerah sibuk di Kediri dan Tulungagung, menjadikan kami memasuki Kota Blitar sudah lepas hari Jumat dan memasuki Sabtu.
Prof Ganjar mengingatkan soal penanggalan Jawa. Ia menyebut lambatnya perjalanan ini merupakan bagian dari gerak semesta yang menjadikan rombongan sampai ke makam Bung Karno pada hari Sabtu Kliwon, sebuah hari istimewa dan sakral dalam penanggalan Jawa.
Adzan Maghrib sudah terdengar ketika mobil kami melewati Tulungagung dan menuju Kota Blitar, di atas pukul 18.00 WIB, atau sudah memasuki wilayah kosmologi Sabtu Kliwon.
Bagi mereka (Rombongan DPP PA GMNI) yang hidup di wilayah Jawa Barat, ketika memasuki Jawa Timur, waktu berjalan terasa lambat. Langit sudah terlihat gelap. Mereka merasa ini seperti pukul tujuh malam atau memasuki waktu Isya. Padahal sebenarnya masih memasuki waktu Maghib.
Mereka mengalami disorientasi waktu. Sesuatu yang wajar terjadi jika terjadi pergerakan mobilitas manusia melewati perbedaaan zona waktu. Meskipun sebenarnya masih-sama berada di zona waktu sama, yakni Waktu Indonesia Barat (WIB). Namun pergeseran geografis, sangat mempengaruhi orientasi tentang waktu.
Rombongan sampai di Makam Bung Karno di Bondogerit sekitar pukul 18.30 WIB. Sesuai dengan jadwal perjalanan yang telah kami rancang sebelumnya. Karena diorientasi waktu tersebut, mereka merasa lebih malam dan gelap.
Di Makam Bung Karno, mereka disambut oleh seorang pejabat di Kota Blitar yang kebetulan anggota PA GMNI. Panggilan akrabnya, Mas Yanu. Ia baru tiga hari menduduki pos jabatan barunya sebagai Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemerintah Kota Blitar.
Pak Sis dan rombongan kemudian beristirahat di Paseban Agung, sebuah tempat transit untuk menyambut tamu-tamu istimewa yang hendak berziarah di Makam Bung Karno.
Terlihat sejumlah aktivis dan pengurus GMNI Kota Blitar menyambut para seniornya. Diantaranya, seorang Kartini yang menjadi Ketua DPC GMNI setempat, Vita Nerizza Permai.
Ada yang terasa berbeda dari kompleks Makam Bung Karno. Kini terlihat cukup luas. Selain ada paseban, ada bangunan cukup megah yang menjadi Perpustakaan Proklamator Bung Karno yang diresmikan pada 4 Juli 2004 di era Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri.
Perpustakaan ini menyimpan buku-buku, tulisan dan peninggalan-peninggalan Bung Karno yang berkaitan dengan pemikiran besarnya tentang Nasionalisme Indonesia. Merupakan bagian dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Perpustakaan Nasional di Jln Kramat Raya, Jakarta.
Berstatus Perpustakaan khusus plus. Perpustakaan ini sebagai bagian dari upaya meningkatkan budaya dan peradaban Indonesia melalui pemikiran-pemikiran dan tindakan-tindakan orang besar sebagaimana Bung Karno, sosok sentral dalam sejarah modern Indonesia, tokoh sepanjang massa yang Namanya abadi bersama perjalanan peradaban Indonesia.
Perpustakaan Proklamator Bung Karno dibangun karena adanya keinginan kuat untuk ‘mendokumentasikan pikiran-pikiran besar’ Bung Karno tentang kebangsaan atau nasionalisme Indonesia.
Didalamnya tentu memuat tentang Pancasila, sebagai warisan ikonik bagi Bangsa Indonesia. Ia menjadi pandangan sekaligus cara hidup, landasan ideologis sekaligus basis material untuk praktik kerja-kerja politik tentang kebangsaan, kemanusiaan dan keadilan yang dilandasi oleh semangat persatuan dan kerakyatan Indonesia.

Selain menyimpan sejarah panjang, luas dan kompleks dari sosok Soekarno dan perjuangan nasionalisme serta kemerdekaan Indonesia, perpustakaan ini juga dimaksudkan sebagai pusat kajian tentang Nasionalisme Indonesia dalam konteks sejarah dan perspektif masa lalu (past), aktualisasi kekinian (present) dan visi ke depan (future).
Keberadaan Perpustakaan Proklamator Bung Karno, juga bagian dari upaya untuk ‘mengkonstitusionalisasikan’ gagasan dan pemikran besar Bung Karno tentang sosio nasionalisme Indonesia yang bersumbu pada Trisakti.
Trisakti Bung Karno mengarah pada kondisi ideal dan substansial dari Indonesia, yakni berdaulat secara politik, berdikasi secara ekonomi dan berkepribadian secara kebudayaan.
“Bung Karno tokoh besar sepanjang masa. Tidak saja bagi Indonesia, tetapi juga Asia Afrika atau negara-negara terjajah di era kolonialisme dan post kolonial, yang sampai hari ini, pemikiran geo politik dan geo strategisnya masih sangat relevan. Bahkan tidak saja bagi bangsa Indonesia, tetapi juga dunia,” tutur Abdy Yuhana.
Geo politik keseimbangan, kesetaraan dan keadilan global, adalah warisan Bung Karno yang sampai hari ini menjadi inspirasi bagi banyak pemimpin dunia. Tatanan geo politik hari ini, seperti terbentuknya BRICS, keseimbangan utara dan selatan dan perjuangan keadilan serta kemerdekaan bagi seluruh bangsa di dunia, adalah warisan Bung Karno.
“Piagam Bandung atau Dasasila Bandung yang menjadi produk geo politik dari Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955, adalah perjuangan Bung Karno, tidak saja dalam pikiran, tetapi juga dalam praktik. Bung Karno menjadikan Indonesia sebagai sumbu geo politik penting di kancah dunia, sampai hari ini,” sambung Abdy Yuhana.***
Penulis: Redaksi/Editor: Bung Wadhaar.