Marhaenist.id – Ketika itu seorang pujangga agung keraton Surakarta, R Ng Ranggawarsita menyaksikan suasana yang suram, yang membuatnya khawatir sekaligus miris. Kerajaan Surakarta yang merosot dan masyarakat yang terombang-ambing membuatnya gelisah, aturan sosial rusak akibat supremasi hukum yang dilecehkan, tiadanya keteladanan dari para penguasa membuat orang resah mencari arah. Ia menuliskan keresahan itu dalam sebuah serat yang berjudul “Kalatidha”. Dalam serat itu, Ranggawarsita mengungkapkan:
“Mangkya darajating praja
Kawuryan wus sunya-ruri
Rurah pangrehing ukara
Karana tanpa palupi
Atilar silastuti,
Sujana sarjana kelu,
Kalulun kalatida,
Tidhem tandhaning dumadi,
Ardayengrat dene karoban rubeda”
Bait pertama serat Kalatidha ini menggambarkan martabat dan derajad negara yang kian merosot akibat rurah pangrehing ukara; pelaksanaan undang-undang yang sudah rusak oleh para elite atau penguasa. Sehingga karana tanpa palupi, para pembesar tak lagi bisa jadi panutan atau suri tauladan. Atilar tilastuti; segala aturan baik dilanggar maka para orang pandai pun lesu yang dibahasakan oleh Ranggawarsita dengan kalimat Sujana sarjana kelu, bisa pula diartikan para intelektual kian berpandangan suram. Orang cerdik cendekiawan terbawa arus Kalatidha; Kalulun Kalatidha.
Kalatidha merujuk pada situasi yang penuh krisis, ketika pakem-pakem tuntunan moral, dan etik tak lagi diindahkan. Bahkan aturan hukum dengan mudah dikangkangi. Maka munculah situasi tidhem tandhaning dumadi; situasi layaknya kehilangan tanda-tanda kehidupan. Ardayangrat dening karoban rubeda; suasananya mencekam. Karena dunia penuh dengan ketidakberesan. Situasi kekuasaan yang krisis moral dan etika inilah yang menurut Ranggawarsita menciptakan kerusakan sosial, yang disebutnya “Zaman Edan”.
Situasi tanah air kita saat ini pun tak luput dari penggambaran sang pujangga Ranggawarsita yang menamainya sebagai Kalatidha (masa suram) dimana Mahkamah Konstitusi yang mewartakan dirinya sebagai the guardian of constitution, sang penjaga konstitusi namun melakukan penyelundupan hukum dan divonis melakukan pelanggaran etika berat. Mirisnya, pelanggaran iti dilakukan untuk kepentingan sang keponakan. Ia mengorbankan kepentingan khalayak ramai, hanya untuk kepentingan sanak famili. Dan ketika lembaga tertinggi penegak konstitusi itu berbuat lacur (buruk laku) maka layaknya yang digambarkan Ranggawarsita; Mangkya darajating praja, negara kehilangan martabat dan derajadnya.
Bahkan hari ini kita disuguhi dengan tontonan yang tak punya rasa malu dimana para pejabat dengan terang benderang memperlihatkan keberpihakan yang melanggar aturan dan prinsip netralitas. Bahkan ia lakukan dengan rasa bangga. Dengan menggunakan program dan fasilitas negara yang biayai uang rakyat melakukan kampanye terselubung untuk memenangkan sang anak dan kelompoknya. Itulah yang disebut Ranggawarsita dalam syairnya, Rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi; aturan dengan mudah dan bangga dilanggar begitu saja, karena kita sudah kehilangan panutan, mereka yang selama ini dianggap sebagai kalangan yang terhormat tak dapat lagi dijadikan sebagai contoh, tauladan bagi rakyatnya. Dan ketika yang menjadi panutan itu hilang, masyarakat akan kehilangan pegangan. Yang salah dan yang benar nampak kabur, tak jelas.
Yang lebih menyayat hati, ketika keresahan akan merosotnya moral dan etika dibalas dengan cacian dan umpatan “ndasmu etik”, sebuah umpatan yang bukan saja merendahkan namun seakan sebuah ungkapan bahwa etika tak lagi diperlukan, tak perlu lagi diributkan. Tentu, pemilu adalah perkara perebutan kekuasaan, namun kekuasaan itu dimandatkan bukan untuk memperoleh kekayaan diri melainkan mengelola kehidupan bersama, mencapai cita-cita adiluhung tentang keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. Orang jadi resah ketika cara merebut atau mendapatkan kekuasaan dengan cara yang tuna etika dan moral, maka orang ragu ketika ia mendapatkan kekuasaan itu apakah ia bisa menggunakan kekuasaan itu untuk mengelola kehidupan bersama, untuk mencapai cita-cita yang adiluhung? Ini meninggalkan pertanyaan dengan penuh rasa khawatir.
Dan saat pakem itu diterabas, etika dan moral diremehkan begitu saja sejatinya kita sedang mengalami apa yang disebut oleh sang pujangga amenangi jaman edan, menghadapi zaman edan. Ewuh aya ing pambudi, sebuah masa-masa yang sulit dimana yen tan melu anglakoni, boya keduman melik, kaliren wekasanipun. Artinya orang ikut gila karena tidak tahan, tetapi kalau tidak ikut melakukan lenyaplah segala kemungkinan untuk mendapatkan, kelaparan dan kesengsaraan jadinya. Dalam bahasa satir, ora edan ora keduman, tidak ikut gila maka tak kebagian. Disini Ranggawarsita ingin menggambarkan bahwa kegilaan sang pemimpin, kegilaan para pembesar akan membuat semua tatanan ikut “gila”, semua tatanan ikut hancur.
Parade pelanggaran aparatur negara akan prinsip netralitas yang terus kita saksikan akhir-akhir ini adalah sebuah gambaran ora edan ora keduman seperti yang disyairkan Ranggawarsita. Mereka secara massal melakukan pelanggaran karena takut kehilangan jabatan, takut kehilangan pendapatan, sumber mengais rezeki. Artinya sebuah pelanggaran akan mengalami “normalisasi” dianggap sesuatu yang wajar terjadi bahkan borpotensi menjadi tradisi. Mereka yang tak mau ikut melakukan pelanggaran akan kehilangan jabatan, atau tak lagi diberikan tugas menjalankan kewenangan. Kejujuran dan integritas seseorang akan lenyap ditelan normalisasi pelanggaran.
Ketika pelanggaran terjadi dimana-mana, prinsip netralitas ditabrak begitu saja, anggaran negara digunakan untuk kampanye terselubung memenangkan putra mahkota namun semua pihak seakan diam. Maka sejatinya kita sedang kehilangan “kompas moral”, yang berlaku hanya ora edan ora keduman, keadaan dimana nilai-nilai mulai pudar dan runtuh, manusia akhirnya semakin kehilangan kemanusiaannya. Dan ketika pemimpin tertinggi sudah tak dapat lagi dijadikan panutan maka sejatinya kekuasaan tertinggi itu telah kehilangan wibawa, kehilangan kasekten dalam bahasa kosmos kekuasaan Jawa.
Dalam bahasa Ranggawarsita, itulah zaman Kalabendhu, “zaman kerusakan” dimana hilangnya kesakten (wibawa) sang Raja dalam pandangan kosmos kekuasaan Jawa maka ia berdampak sistemik dalam kehidupan manusia. Ia akan menciptakan gejolak sosial akibat runtuhnya tatanan nilai dan moral serta kebenaran yang selama ini menopang kehidupan bersama. Dalam bahasa Nietzsche, ia akan melahirkan situasi nihilisme yang bisa menciptakan khaos. Ia akan melahirkan anarki dan kekacauan. Semakin pudarnya kasekten dari sang Raja akibat meninggalkan kebenaran sejati, mengabaikan nilai moral dan etika namun terus berlindung di balik wajah kekuasaan akan mengakibatkan semakin semrawut dan morat-maritnya keadaan rakyatnya. Itulah konsep kosmologi kekuasaan Jawa.
Dan Ranggawarsita pun berpesan, ditengah zaman edan dimana prinsip ora edan ora keduman yang berkuasa maka ia memberikan prinsip; begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada. Artinya seberuntung-berungnya atau sebaik-baiknya orang yang lupa daratan, maka lebih beruntung orang yang ingat dan waspada. Kata eling lan waspada dalam serat Kalatidha tentu punya makna dalam dimensi kekuasaan, tak bisa hanya diartikan secara harafiah semata. Ia memberikan pesan moral, sebaik-baiknya kekuasaan yang lupa maka lebih baik kekuasaan yang sadar (eling) akan sandaran nilai dan moral yang mesti jadi panduan serta waspada (hati-hati), mawas diri karena kekuasaan bisa membuat kita tergelincir ke dalam kesewenang-wenangan yang merusak tatanan kehidupan.
Penulis: Arjuna Putra Aldino, Ketua Umum DPP GMNI.