By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Marhaenist
Log In
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Onward Issue:
Pernyataan Sikap SP-NTT: Polemik Geothermal Flores-Lembata dan Polemik Investasi di Pulau Padar Taman Nasional Komodo
Semangat Muda Kaum Nasionalis: Deklarasi GSNI Pacitan
Aksi Mahasiswa: Bubarkan DPR ?
Mas Bambang Patjul Dibutuhkan Fokus Skala Nasional
‎Dugaan 22 Anak SD Keracunan Makanan dari Program MBG, Ketua GMNI Inhil: Kurangnya Kontrol Pihak Terkait

Vivere Pericoloso

Ever Onward Never Retreat

Font ResizerAa
MarhaenistMarhaenist
Search
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Ikuti Kami
Copyright © 2024 Marhaenist. Pejuang Pemikir. All Rights Reserved.
Opini

Politik Kita dan Zaman Edan

La Ode Mustawwadhaar
La Ode Mustawwadhaar Diterbitkan : Kamis, 1 Februari 2024 | 18:35 WIB
Bagikan
Waktu Baca 8 Menit
Bagikan
iRadio

Marhaenist.id – Ketika itu seorang pujangga agung keraton Surakarta, R Ng Ranggawarsita menyaksikan suasana yang suram, yang membuatnya khawatir sekaligus miris. Kerajaan Surakarta yang merosot dan masyarakat yang terombang-ambing membuatnya gelisah, aturan sosial rusak akibat supremasi hukum yang dilecehkan, tiadanya keteladanan dari para penguasa membuat orang resah mencari arah. Ia menuliskan keresahan itu dalam sebuah serat yang berjudul “Kalatidha”. Dalam serat itu, Ranggawarsita mengungkapkan:

“Mangkya darajating praja
Kawuryan wus sunya-ruri
Rurah pangrehing ukara
Karana tanpa palupi
Atilar silastuti,
Sujana sarjana kelu,
Kalulun kalatida,
Tidhem tandhaning dumadi,
Ardayengrat dene karoban rubeda”

Bait pertama serat Kalatidha ini menggambarkan martabat dan derajad negara yang kian merosot akibat rurah pangrehing ukara; pelaksanaan undang-undang yang sudah rusak oleh para elite atau penguasa. Sehingga karana tanpa palupi, para pembesar tak lagi bisa jadi panutan atau suri tauladan. Atilar tilastuti; segala aturan baik dilanggar maka para orang pandai pun lesu yang dibahasakan oleh Ranggawarsita dengan kalimat Sujana sarjana kelu, bisa pula diartikan para intelektual kian berpandangan suram. Orang cerdik cendekiawan terbawa arus Kalatidha; Kalulun Kalatidha.

Kalatidha merujuk pada situasi yang penuh krisis, ketika pakem-pakem tuntunan moral, dan etik tak lagi diindahkan. Bahkan aturan hukum dengan mudah dikangkangi. Maka munculah situasi tidhem tandhaning dumadi; situasi layaknya kehilangan tanda-tanda kehidupan. Ardayangrat dening karoban rubeda; suasananya mencekam. Karena dunia penuh dengan ketidakberesan. Situasi kekuasaan yang krisis moral dan etika inilah yang menurut Ranggawarsita menciptakan kerusakan sosial, yang disebutnya “Zaman Edan”.

Situasi tanah air kita saat ini pun tak luput dari penggambaran sang pujangga Ranggawarsita yang menamainya sebagai Kalatidha (masa suram) dimana Mahkamah Konstitusi yang mewartakan dirinya sebagai the guardian of constitution, sang penjaga konstitusi namun melakukan penyelundupan hukum dan divonis melakukan pelanggaran etika berat. Mirisnya, pelanggaran iti dilakukan untuk kepentingan sang keponakan. Ia mengorbankan kepentingan khalayak ramai, hanya untuk kepentingan sanak famili. Dan ketika lembaga tertinggi penegak konstitusi itu berbuat lacur (buruk laku) maka layaknya yang digambarkan Ranggawarsita; Mangkya darajating praja, negara kehilangan martabat dan derajadnya.

Baca Juga:   Kooperasi sebagai Kekuatan Politik

Bahkan hari ini kita disuguhi dengan tontonan yang tak punya rasa malu dimana para pejabat dengan terang benderang memperlihatkan keberpihakan yang melanggar aturan dan prinsip netralitas. Bahkan ia lakukan dengan rasa bangga. Dengan menggunakan program dan fasilitas negara yang biayai uang rakyat melakukan kampanye terselubung untuk memenangkan sang anak dan kelompoknya. Itulah yang disebut Ranggawarsita dalam syairnya, Rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi; aturan dengan mudah dan bangga dilanggar begitu saja, karena kita sudah kehilangan panutan, mereka yang selama ini dianggap sebagai kalangan yang terhormat tak dapat lagi dijadikan sebagai contoh, tauladan bagi rakyatnya. Dan ketika yang menjadi panutan itu hilang, masyarakat akan kehilangan pegangan. Yang salah dan yang benar nampak kabur, tak jelas.

Yang lebih menyayat hati, ketika keresahan akan merosotnya moral dan etika dibalas dengan cacian dan umpatan “ndasmu etik”, sebuah umpatan yang bukan saja merendahkan namun seakan sebuah ungkapan bahwa etika tak lagi diperlukan, tak perlu lagi diributkan. Tentu, pemilu adalah perkara perebutan kekuasaan, namun kekuasaan itu dimandatkan bukan untuk memperoleh kekayaan diri melainkan mengelola kehidupan bersama, mencapai cita-cita adiluhung tentang keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. Orang jadi resah ketika cara merebut atau mendapatkan kekuasaan dengan cara yang tuna etika dan moral, maka orang ragu ketika ia mendapatkan kekuasaan itu apakah ia bisa menggunakan kekuasaan itu untuk mengelola kehidupan bersama, untuk mencapai cita-cita yang adiluhung? Ini meninggalkan pertanyaan dengan penuh rasa khawatir.

Dan saat pakem itu diterabas, etika dan moral diremehkan begitu saja sejatinya kita sedang mengalami apa yang disebut oleh sang pujangga amenangi jaman edan, menghadapi zaman edan. Ewuh aya ing pambudi, sebuah masa-masa yang sulit dimana yen tan melu anglakoni, boya keduman melik, kaliren wekasanipun. Artinya orang ikut gila karena tidak tahan, tetapi kalau tidak ikut melakukan lenyaplah segala kemungkinan untuk mendapatkan, kelaparan dan kesengsaraan jadinya. Dalam bahasa satir, ora edan ora keduman, tidak ikut gila maka tak kebagian. Disini Ranggawarsita ingin menggambarkan bahwa kegilaan sang pemimpin, kegilaan para pembesar akan membuat semua tatanan ikut “gila”, semua tatanan ikut hancur.

Baca Juga:   Integritas vs Manipulasi: Tantangan Lembaga Survei Dalam Pemilihan Kepala Daerah

Parade pelanggaran aparatur negara akan prinsip netralitas yang terus kita saksikan akhir-akhir ini adalah sebuah gambaran ora edan ora keduman seperti yang disyairkan Ranggawarsita. Mereka secara massal melakukan pelanggaran karena takut kehilangan jabatan, takut kehilangan pendapatan, sumber mengais rezeki. Artinya sebuah pelanggaran akan mengalami “normalisasi” dianggap sesuatu yang wajar terjadi bahkan borpotensi menjadi tradisi. Mereka yang tak mau ikut melakukan pelanggaran akan kehilangan jabatan, atau tak lagi diberikan tugas menjalankan kewenangan. Kejujuran dan integritas seseorang akan lenyap ditelan normalisasi pelanggaran.

Ketika pelanggaran terjadi dimana-mana, prinsip netralitas ditabrak begitu saja, anggaran negara digunakan untuk kampanye terselubung memenangkan putra mahkota namun semua pihak seakan diam. Maka sejatinya kita sedang kehilangan “kompas moral”, yang berlaku hanya ora edan ora keduman, keadaan dimana nilai-nilai mulai pudar dan runtuh, manusia akhirnya semakin kehilangan kemanusiaannya. Dan ketika pemimpin tertinggi sudah tak dapat lagi dijadikan panutan maka sejatinya kekuasaan tertinggi itu telah kehilangan wibawa, kehilangan kasekten dalam bahasa kosmos kekuasaan Jawa.

Dalam bahasa Ranggawarsita, itulah zaman Kalabendhu, “zaman kerusakan” dimana hilangnya kesakten (wibawa) sang Raja dalam pandangan kosmos kekuasaan Jawa maka ia berdampak sistemik dalam kehidupan manusia. Ia akan menciptakan gejolak sosial akibat runtuhnya tatanan nilai dan moral serta kebenaran yang selama ini menopang kehidupan bersama. Dalam bahasa Nietzsche, ia akan melahirkan situasi nihilisme yang bisa menciptakan khaos. Ia akan melahirkan anarki dan kekacauan. Semakin pudarnya kasekten dari sang Raja akibat meninggalkan kebenaran sejati, mengabaikan nilai moral dan etika namun terus berlindung di balik wajah kekuasaan akan mengakibatkan semakin semrawut dan morat-maritnya keadaan rakyatnya. Itulah konsep kosmologi kekuasaan Jawa.

Baca Juga:   Refleksi Hari Perempuan Internasional: Guyonan Seksis, Cerminan Mentalitas Bobrok!

Dan Ranggawarsita pun berpesan, ditengah zaman edan dimana prinsip ora edan ora keduman yang berkuasa maka ia memberikan prinsip; begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada. Artinya seberuntung-berungnya atau sebaik-baiknya orang yang lupa daratan, maka lebih beruntung orang yang ingat dan waspada. Kata eling lan waspada dalam serat Kalatidha tentu punya makna dalam dimensi kekuasaan, tak bisa hanya diartikan secara harafiah semata. Ia memberikan pesan moral, sebaik-baiknya kekuasaan yang lupa maka lebih baik kekuasaan yang sadar (eling) akan sandaran nilai dan moral yang mesti jadi panduan serta waspada (hati-hati), mawas diri karena kekuasaan bisa membuat kita tergelincir ke dalam kesewenang-wenangan yang merusak tatanan kehidupan.


Penulis: Arjuna Putra Aldino, Ketua Umum DPP GMNI.

Bagikan Artikel
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print

ARTIKEL TERBARU

Foto: Desain Grafis oleh SP-NTT/MARHAENIST
Pernyataan Sikap SP-NTT: Polemik Geothermal Flores-Lembata dan Polemik Investasi di Pulau Padar Taman Nasional Komodo
Senin, 25 Agustus 2025 | 17:44 WIB
Semangat Muda Kaum Nasionalis: Deklarasi GSNI Pacitan
Senin, 25 Agustus 2025 | 13:34 WIB
Aksi Mahasiswa: Bubarkan DPR ?
Senin, 25 Agustus 2025 | 13:28 WIB
Mas Bambang Patjul Dibutuhkan Fokus Skala Nasional
Minggu, 24 Agustus 2025 | 21:13 WIB
‎Dugaan 22 Anak SD Keracunan Makanan dari Program MBG, Ketua GMNI Inhil: Kurangnya Kontrol Pihak Terkait
Sabtu, 23 Agustus 2025 | 19:24 WIB

BANYAK DIBACA

Negara Hukum Berwatak Pancasila
Insight
Peringati HUT Kemerdekaan RI, DPC GMNI Touna dan DPK GMN Bung Tomo Manajenen Gelar Nobar Sekaligus Bedah Film bersama Masyarakat
Kabar GMNI
Presiden Jokowi Resmi Buka Kongres IV Persatuan Alumni GMNI
Kabar PA GMNI
Pembukaan Kongres IV Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI)
Kabar PA GMNI
Buka kongres PA GMNI, Jokowi Ajak Alumni GMNI Jaga Kedaulatan dan Menangkan Kompetisi
Kabar PA GMNI

Lainnya Dari Marhaenist

Opini

Fenomena #KaburAjaDulu: Cermin Keresahan Pemuda terhadap Sistem Pemerintahan

Marhaenist.id - Tagar #KaburAjaDulu bukan sekadar tren di media sosial, tetapi mencerminkan…

Kabar GMNI

Korban KDRT Didiskriminasi, Kabid Hukum GMNI Halut Angkat Bicara

Marhaenist.id, Halut - Kasus Kekerasan Dalamy Rumah Tangga (KDRT) yang sempat viral pada…

Internasionale

Membaca Teka-Teki Politik di Bangladesh

Marhaenist - Pada hari Senin, 5 Agustus, mantan Perdana Menteri Sheikh Hasina…

Kabar PA GMNIMarhaenis

Ahmad Yandi Khadafi: Hakim Tak Boleh Jadi Alat Kekuasaan: Wujudkan Asas Keadilan, Bebaskan Hasto!

Tangerang, Marhaenist.id - Proses hukum terhadap Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, kini…

Opini

Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, Prabowo Subianto, Pertandingan Melawan Korupsi

MARHAENIST - Indonesia memulai sebuah era baru, memilih presiden secara langsung pada…

Internasionale

Genosida Bangsa Palestina Terus Berlanjut, PM Israel: Ini Baru Permulaan, Kami akan terus Gempur Gaza Tanpa Ampun

Marhaenist.id, Tel Aviv - Perdana Menteri Negara Pendudukan Israel Benjamin Netanyahu menegaskan…

Study Marhaenisme

Marhaenisme, Marhaen dan Kita

Marhaenist.id - Banyak fenomena ganjil yang terjadi diantara kita. Terutama tentang Marhaenisme.…

Polithinking

Sambut Ganjar, Warga dan Tokoh Adat Sematkan Selendang Beserta Topi Khas Manggarai

Marhaenist.id, Ruteng - Ganjar Pranowo melanjutkan safari politiknya di Ruteng, Kabupaten Manggarai,…

Insight

Pengembangan Koperasi Listrik Zambia

Marhaenist - Delegasi pemerintah dari Zambia tiba di Nashville, Tennessee, untuk menghadiri…

Tampilkan Lebih Banyak
  • Infokini
  • Indonesiana
  • Historical
  • Insight
  • Kabar PA GMNI
  • Kabar GMNI
  • Bingkai
  • Kapitalisme
  • Internasionale
  • Marhaen
  • Marhaenis
  • Marhaenisme
  • Manifesto
  • Opini
  • Polithinking
  • Study Marhaenisme
  • Sukarnoisme
Marhaenist

Ever Onward Never Retreat

  • Kontak
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber
  • ▪️ Kirim Artikel
  • ▪️ Format

Vivere Pericoloso

Ikuti Kami

Copyright © 2025 Marhaenist. Ever Onward Never Retreat. All Rights Reserved.

Marhaenist
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?