Marhaenist.id– Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) telah melalui berbagai tantangan selama masa kepemimpinannya, mulai dari ekonomi hingga pandemi. Namun, salah satu aspek yang kerap menjadi sorotan adalah bagaimana pemerintahannya melakukan perubahan terhadap aturan hukum, termasuk Undang-Undang, yang dipersepsikan sebagai upaya untuk memperkuat dominasi politik. Penelitian lalu menganalisis fenomena tersebut, dengan fokus pada kasus-kasus perubahan aturan yang kontroversial dan implikasinya terhadap dinamika politik di Indonesia.
Dalam hal ini, kita menggunakan pendekatan Neoinstitusionalisme dan Teori Otoritarianisme Hibrida. Neoinstitusionalisme menekankan bagaimana institusi-institusi (seperti hukum dan regulasi) digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan. Sementara itu, teori otoritarianisme hibrida mengacu pada sistem pemerintahan di mana mekanisme demokrasi tetap ada, tetapi dijalankan dengan cara yang memfasilitasi kontrol elite terhadap proses politik.
Melalui metode studi kasus dengan menganalisis sejumlah peristiwa di mana pemerintahan Jokowi melakukan perubahan aturan hukum. Data dikumpulkan dari berbagai sumber media, jurnal akademik, dan laporan organisasi masyarakat sipil.
Salah satu perubahan hukum paling kontroversial yang dilakukan di era Jokowi adalah revisi terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2019. Revisi ini dianggap oleh banyak pihak sebagai upaya untuk melemahkan lembaga antikorupsi yang sebelumnya independen dan kuat. Media seperti Tempo dan BBC Indonesia mencatat bahwa revisi ini memberikan kekuasaan lebih besar kepada Dewan Pengawas yang diangkat oleh Presiden, mengurangi kewenangan penyadapan, dan memperlemah independensi KPK.
Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2020 menjadi topik lain yang penuh kontroversi. Undang-Undang ini menggabungkan revisi terhadap sejumlah undang-undang yang berbeda dalam satu paket, yang dilihat oleh banyak pengamat sebagai cara pemerintah untuk mempercepat deregulasi guna menarik investasi. The Jakarta Post dan Reuters melaporkan bahwa undang-undang ini mendapat banyak kritik karena dianggap merugikan buruh, memperlemah perlindungan lingkungan, dan memperkuat kontrol pemerintah pusat atas pemerintah daerah.
Pada masa pemerintahan Jokowi, terdapat usulan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD, yang sebelumnya pernah diberlakukan. Walaupun usulan ini tidak berhasil menjadi undang-undang, hal ini menunjukkan adanya keinginan di dalam pemerintahan untuk mengubah aturan politik demi mengkonsolidasikan kekuasaan. Kompas dan BBC Indonesia mencatat bahwa usulan ini mendapat perlawanan luas dari masyarakat sipil yang menganggapnya sebagai langkah mundur dalam demokrasi.
Perubahan-perubahan aturan yang dilakukan pemerintahan Jokowi ini mengindikasikan adanya tren ke arah otoritarianisme hibrida. Walaupun mekanisme demokrasi seperti pemilihan umum tetap ada, perubahan aturan dan undang-undang yang dilakukan cenderung mengarah pada konsolidasi kekuasaan di tangan eksekutif dan elite politik. Ini memunculkan kekhawatiran mengenai kemunduran demokrasi di Indonesia, di mana ruang bagi partisipasi publik semakin sempit dan pengawasan terhadap pemerintah menjadi lemah.
Kajian ini menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi telah menggunakan perubahan aturan hukum sebagai alat untuk mengkonsolidasikan kekuasaan. Melalui studi kasus revisi UU KPK, Omnibus Law Cipta Kerja, dan usulan perubahan aturan Pilkada, terlihat adanya pola otoritarianisme hibrida di mana kekuasaan dipusatkan pada eksekutif, sementara institusi-institusi demokratis dilemahkan. Penting bagi masyarakat sipil dan akademisi untuk terus mengawasi dan mengkritisi perkembangan ini guna menjaga agar demokrasi Indonesia tetap sehat dan inklusif.
Oleh: Eko Zaiwan, Peneliti Presisi45