Marhaenist.id – Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…
Ledakan media sosial dan ekosistem digital menghadirkan paradoks besar dalam rezim hukum Indonesia: di satu sisi, ruang digital menjadi arena demokratisasi informasi dan kebebasan berekspresi; namun di sisi lain, ia membuka ancaman serius terhadap keselamatan psikologis, privasi, dan masa depan anak.
Konten kekerasan, seksual, cyberbullying, eksploitasi, dan ketergantungan digital berkembang tanpa batas, sementara sistem regulasi dan penegakan hukum masih tertinggal dibanding kecepatan teknologi.
Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, sebagaimana mandat Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, sekaligus menghormati kebebasan berekspresi (Pasal 28E) dan kebebasan memperoleh informasi (Pasal 28F). Ketegangan kepentingan publik ini menuntut harmonisasi hukum yang cermat dan proporsional.
Kerangka Konstitusional dan Yurisprudensi MK
Mahkamah Konstitusi secara konsisten menegaskan bahwa kebebasan berekspresi bukan hak absolut dan dapat dibatasi sepanjang untuk melindungi kepentingan publik dan kelompok rentan—termasuk anak.
Dalam Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008, MK menegaskan bahwa pembatasan ekspresi sah dan konstitusional sepanjang dilakukan secara proportionality test dan legitimate aim untuk melindungi ketertiban umum dan hak orang lain.
MK kembali menegaskan prinsip perlindungan anak dalam Putusan No. 30/PUU-XV/2017, menyatakan bahwa kepentingan terbaik anak harus dikedepankan sebagai pertimbangan hukum tertinggi (best interest of the child).
Dengan demikian, pembatasan konten digital yang mengancam tumbuh kembang anak bukanlah pembatasan kebebasan berbicara, tetapi konstitusionalitas perlindungan hak dasar anak.
Yurisprudensi tersebut memberikan dasar kuat bahwa negara wajib hadir secara aktif dalam ruang digital, bukan hanya dengan regulasi normatif tetapi juga melalui penegakan hukum dan tata kelola platform digital.
Regulasi Nasional: UU Perlindungan Anak, UU PDP, dan UU ITE
Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak secara tegas mewajibkan negara dan masyarakat mencegah eksploitasi, kekerasan, dan penyalahgunaan media terhadap anak. Pasal 15 melarang konten yang merusak moral dan perkembangan psikologis anak, sementara Pasal 76B dan 76E memberikan dasar pidana terhadap pelaku eksploitasi.
Sementara itu, UU PDP (UU No. 27 Tahun 2022) membawa paradigma baru terkait data anak sebagai data pribadi sensitif yang pengelolaannya membutuhkan persetujuan eksplisit orang tua serta privacy by design. Kebocoran data profil anak, identitas biometrik, jejak digital, atau penggunaan AI yang menganalisis perilaku anak tanpa persetujuan, merupakan pelanggaran serius dan dapat berupa tindak pidana.
Dengan demikian, perlindungan anak di ranah digital tidak hanya terkait konten, tetapi juga pengelolaan, pemrosesan, dan penyebaran data pribadi. UU ITE melengkapi aspek penegakan melalui sanksi terhadap penyebaran konten berbahaya, namun pendekatan yang terlalu represif tanpa aspek edukasi dan teknologi responsif berpotensi menimbulkan overcriminalization.
Komparasi Internasional
Berbagai negara telah menerapkan model proteksi digital yang lebih progresif. Uni Eropa melalui GDPR dan UK Online Safety Act mewajibkan platform menyediakan mekanisme penyaringan, verifikasi usia, dan algoritma khusus untuk melindungi anak.
AS dengan COPPA (Children’s Online Privacy Protection Act) melarang pengumpulan data anak tanpa persetujuan orang tua. Korea Selatan bahkan memberlakukan shutdown law untuk mengatasi kecanduan game digital pada usia remaja.
Seluruh model tersebut menekankan tiga prinsip utama: best interest of the child sebagai dasar kebijakan, accountability platform yang bukan hanya pengguna, serta pendekatan multi-sectoral meliputi teknologi, edukasi, dan penegakan hukum
Indonesia perlu bergerak ke arah yang sama melalui harmonisasi regulasi antara UU PDP, UU Perlindungan Anak, dan UU ITE dalam satu kerangka Digital Child Protection Act.
Kesimpulan dan Rekomendasi Hukum
Melindungi anak di ruang digital bukanlah tindakan membatasi demokrasi, tetapi menyelamatkan masa depan bangsa. Kebebasan berekspresi tidak boleh menjadi legitimasi kekerasan, pornografi, eksploitasi, dan pembunuhan karakter psikologis anak.
Negara harus menyusun national digital safety roadmap berbasis MK, UU PDP, dan UU Perlindungan Anak; mewajibkan platform menerapkan age-appropriate design code; membentuk Digital Ombudsman Protection for Child Rights; membangun ekosistem edukasi digital di sekolah dan keluarga; dan mengutamakan penegakan hukum berbasis restorative approach.
Dan pada akhirnya perlindungan anak di dunia digital bukan pilihan, tetapi kewajiban konstitusional dan moral.
Penulis: Firman Tendry Masengi, Advokat, Alumni GMNI, Direktur Eksekutif RECHT Institute.