Marhaenist.id, Jakarta – Advokat sekaligus alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Firman Tendry Masengi, melontarkan kritik mendalam terhadap dominasi para jenderal dalam ruang publik, simbol negara, dan praktik-praktik kekuasaan di Indonesia.
Ia menyoroti bagaimana jejak kekuasaan militer masih begitu kuat bahkan dalam kehidupan sipil, membentuk ingatan kolektif yang mengekalkan relasi kekuasaan yang timpang.
Melalui narasinya yang lugas dalam sebuah opini dengan judul NEGERI PARA JENDERAL: TENTANG TANAH REPUBLIK YANG RAKYAT TERUS TERJAJAH yang tanyang di Jakartasatu.com Selasa (2/12/2025), Firman Tendry Masengi menyatakan bahwa nama-nama jenderal menghiasi hampir seluruh infrastruktur negara, mulai dari jalan raya, bandara, pelabuhan, hingga fasilitas publik lainnya.
Fenomena tersebut dianggapnya sebagai bentuk “Penjara Ingatan” yang memaksa rakyat untuk terus hidup di bawah bayang-bayang figur yang justru kerap mengkhianati kepentingan rakyat.
“Setiap kali seseorang menyebut nama jalan tempat mereka tinggal, mereka tanpa sadar mengucapkan mantra yang menyanjung para petinggi yang mengkhianati rakyat,” tulis Firman Tendry Masengi.
Menurutnya, tindakan memberi nama fasilitas publik dengan nama para jenderal bukan sekadar bentuk penghormatan historis, tetapi strategi propaganda yang menutupi praktik-praktik kekuasaan yang timpang.
Ia menilai bahwa simbol-simbol tersebut menjadi alat kolonialisasi domestik yang melanggengkan dominasi militer dalam kehidupan sipil.
Masengi juga menyoroti bagaimana sebagian jenderal memindahkan “medan tempur” dari masa perang ke ruang politik dan ekonomi.
Ia menuduh para jenderal menggunakan kekuatan simbolik dan institusional untuk menguasai sumber daya negara, menggusur masyarakat, hingga menekan kritik publik atas nama stabilitas nasional.
“Dulu musuhnya penjajah. Kini musuhnya adalah rakyatnya sendiri,” tegasnya dalam tulisan itu.
Dalam analisanya, Masengi menggambarkan bagaimana jargon seperti nasionalisme, keamanan, dan stabilitas kerap dijadikan pembenaran bagi tindakan represif maupun kebijakan yang merugikan rakyat kecil.
Ia menilai bahwa praktik politik demikian menempatkan rakyat sebagai pihak yang terus menerus dilemahkan dan dijauhkan dari hak-haknya sebagai warga negara.
Lebih jauh, ia menyatakan bahwa para jenderal kerap tampil sebagai penyelamat ketika negara menghadapi krisis, padahal sebagian dari mereka turut berperan menciptakan krisis tersebut.
Menurutnya, rakyat tidak boleh dibiarkan lupa bahwa banyak persoalan bangsa justru lahir dari kesalahan elite yang kini tampil seolah pahlawan.
Masengi menutup opininya dengan pertanyaan reflektif tentang makna kemerdekaan Indonesia hari ini:
“Apakah negeri ini benar-benar pernah merdeka? Atau hanya berganti penjajah dari asing menjadi seragam sendiri?” tulisnya diakhir.***
Penulis: Bung Wadhaar/Editor: Bung Wadhaar.