Marhaenist.id, Jakarta, – Dua mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) IBLAM, Stevani Evarista dan Salwa Azhari Riefhantza Putri, berhasil menarik perhatian melalui karya ilmiah mereka yang membedah perjalanan panjang penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
Esai bertajuk “HAM, Kekuasaan, dan Demokrasi: Periodisasi dan Pergulatan Politik Hukum di Indonesia” itu diikutsertakan dalam Lomba Esai GALAKSI 2025 yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Surabaya.
Dalam tulis esai itu, keduanya menyoroti ketegangan antara kekuasaan politik dan penegakan hukum dari masa ke masa, mulai dari Era Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi. Mereka menilai bahwa sejarah politik hukum di Indonesia belum sepenuhnya berpihak pada rakyat dan masih menyisakan banyak catatan kelam pelanggaran HAM. “Negara belum menjadi common good yang benar-benar memihak kepentingan seluruh rakyat,” tulis mereka dalam esai tersebut.
Stevani dan Salwa menjelaskan, masa Orde Lama di bawah Presiden Soekarno ditandai dengan penerapan konsep HAM komunal yang menitikberatkan pada kepentingan bangsa di atas individu. Namun, pendekatan itu gagal mencegah tragedi politik 1965 yang menelan banyak korban.
Sementara itu, Orde Baru di bawah Soeharto disebut sebagai periode ketika hukum kehilangan independensinya. Dalam analisis mereka, kebijakan otoritarian, pembatasan kebebasan sipil, dan peristiwa seperti krisis moneter serta kerusuhan Mei 1998 menjadi bukti lemahnya perlindungan terhadap HAM.
Memasuki era Reformasi, keduanya menilai bahwa meskipun Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan membuka ruang demokrasi, pelanggaran masih kerap terjadi. Mereka menyoroti ketimpangan sosial, korupsi, serta pelanggaran terhadap otonomi daerah sebagai bentuk kegagalan negara mewujudkan keadilan sosial.
Dalam penutupnya, Stevani dan Salwa menekankan pentingnya keberanian politik untuk membongkar impunitas serta membangun reformasi struktural agar demokrasi tidak hanya menjadi prosedural, melainkan menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keduanya berharap karya tersebut dapat menjadi refleksi bagi generasi muda untuk lebih kritis terhadap praktik politik dan hukum di Indonesia. “Demokrasi harus hadir sebagai pembebas dan pelindung hak rakyat, bukan sekadar jargon politik,” ujar Stevani saat diwawancarai Marhaenist.id, pada Minggu (5/10/2025).
Penulis: Redaksi/Editor: Trian Walem