Marhaenist.id – Dalam beberapa waktu terakhir, publik dihebohkan oleh memanasnya isu antara Bobibos, sebuah perusahaan swasta yang tengah naik daun di sektor energi alternatif dan Pertamina, raksasa BUMN yang selama puluhan tahun mendominasi industri migas nasional. Perseteruan ini bukan sekadar soal bisnis, melainkan soal narasi kekuasaan, transparansi, dan arah masa depan energi Indonesia.
Pertarungan Dua Paradigma
Pertamina, sebagai perusahaan milik negara, telah menjadi simbol dominasi energi fosil. Ia menguasai infrastruktur strategis, dari hulu ke hilir: mulai dari eksplorasi minyak, pengolahan, hingga distribusi bahan bakar ke seluruh penjuru negeri.
Namun, di balik posisinya yang kokoh, muncul kritik soal efisiensi, transparansi, dan monopoli yang kerap menyingkirkan pemain baru.
Di sisi lain, Bobibos muncul sebagai wajah baru industri energi modern. Dengan pendekatan teknologi bersih, efisiensi digital, dan transparansi manajerial, Bobibos menjadi representasi generasi baru bisnis energi yang lebih fleksibel, adaptif, dan berpihak pada keberlanjutan lingkungan.
Konflik yang muncul antara keduanya menggambarkan benturan antara tradisi lama dan semangat perubahan.
Persoalan Bukan Sekadar Bisnis
Persaingan Bobibos vs Pertamina tidak bisa hanya dibaca sebagai persaingan ekonomi. Di baliknya, ada dimensi etis dan politik yang jauh lebih dalam. Publik menuntut keterbukaan: apakah kebijakan negara dalam sektor energi benar-benar berpihak pada kemajuan, atau sekadar mempertahankan dominasi korporasi lama yang tidak siap berubah?
Jika benar Bobibos menjadi korban ketidakadilan atau perlakuan diskriminatif dalam pengelolaan izin, kontrak, atau distribusi energi, maka kita sedang menyaksikan cermin buram tata kelola energi nasional. Negara seharusnya menjadi wasit yang adil, bukan pemain yang memihak.
Momentum untuk Reformasi Energi
Kasus Bobibos vs Pertamina sesungguhnya bisa menjadi momentum pembenahan besar. Pemerintah perlu menegaskan keberpihakan pada kompetisi sehat dan inovasi teknologi, bukan pada kepentingan kelompok tertentu. Jika energi masa depan berbasis keberlanjutan, maka kebijakan energi nasional pun harus membuka ruang bagi pelaku baru seperti Bobibos. Selama mereka transparan, kredibel, dan berpihak pada kepentingan publik.
Mencari Keadilan dalam Energi
Di tengah gejolak ini, masyarakat menaruh harapan agar konflik Bobibos vs Pertamina tidak berakhir sebagai sekadar drama bisnis yang hilang dalam waktu. Lebih dari itu, kita perlu menjadikannya refleksi: apakah negara masih menjadi pelindung keadilan ekonomi, atau justru bagian dari sistem yang mempertahankan oligopoli energi?
Energi adalah urat nadi bangsa. Maka, siapapun yang memonopolinya tanpa transparansi, pada akhirnya sedang mengkhianati masa depan rakyat.
Catatan Redaksi: La Ode Mustawwadhaar.