Marhaenist.id, Jakarta – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Persatuan Alumni (PA) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta Raya menggelar Focus Group Discussion (FGD) I bertema ‘Reforma Agraria Perkotaan sebagai Ruang Hidup yang Berkeadaban’ di Sekretariat DPP PA GMNI, Jakarta, Sabtu, (18/10/2025).
Dalam Focus Group Discussion tersebut, DPD PA GMNI Jakarta Raya menyoroti semakin menyempitnya ruang hidup rakyat akibat ketimpangan penguasaan tanah di perkotaan.
Melalui kegiatan Focus Group Discussion itu pula, para alumni GMNI Jakarta Raya mengingatkan perlunya langkah konkret dari Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) untuk mengembalikan hak rakyat atas tanah dan ruang kota.
“Rakyat Jakarta semakin kehilangan haknya atas ruang hidup. Banyak kawasan padat dan pemukiman rakyat tergeser oleh proyek-proyek komersial. Reforma agraria perkotaan harus menjadi prioritas agar pembangunan tidak hanya menguntungkan segelintir pihak,” ujar Ariio Sanjaya, Ketua DPD PA GMNI Jakarta Raya.
Seraya menegaskan bahwa reforma agraria bukan sekadar agenda pedesaan, melainkan juga mendesak di wilayah perkotaan, Ario menambahkan bahwa reforma agraria perkotaan tidak hanya soal redistribusi tanah, tetapi juga soal penataan ruang yang manusiawi dan berkeadaban.
“Ruang kota harus dikembalikan kepada rakyat. Prinsip keadilan sosial sebagaimana digariskan dalam Pancasila harus menjadi dasar dari kebijakan tata ruang dan pembangunan Jakarta ke depan,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris DPD PA GMNI Jakarta Raya, Miartiko Gea, menekankan bahwa tanah dan ruang kota adalah bagian dari hak konstitusional rakyat yang harus dijamin oleh negara.
“Hak rakyat atas tanah adalah hak asasi. Pemprov DKJ dan pemerintah pusat harus berani mengambil langkah berkeadilan untuk mengoreksi ketimpangan yang sudah lama terjadi. Jangan biarkan kota ini menjadi ruang yang hanya ramah bagi pemodal, tetapi keras bagi rakyat kecil,” tegas Miartiko.
Disisi lain, Anggota DPRD DKI Jakarta, Dwi Rio Sambodo menegaskan bahwa Jakarta merupakan kota dengan tingkat ketimpangan tertinggi kedua di Indonesia setelah Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Kita tidak bisa memungkiri bahwa Jakarta adalah kota yang timpang. Kelihatannya megah dan gemerlap, tetapi sejujurnya ketimpangan itu nyata,” ujar Dwi Rio dalam FGD tersebut.
Menurutnya, akar persoalan di Jakarta bukan semata soal kemiskinan atau keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, tetapi lebih mendasar—yaitu penguasaan lahan.
“Ketika kita keliling ke kampung kota, persoalan utama bukan hanya soal fasilitas dasar, tapi penguasaan lahan yang tidak adil,” tambahnya.
Dwi Rio juga menyoroti munculnya egosektoral dan proyekisme dalam pembangunan Jakarta. Menurutnya, paradigma pembangunan yang berorientasi proyek membuat arah kebijakan menjadi tidak berpihak pada rakyat kecil.
“Motif politik anggaran harus jelas. Jalan dibangun, tapi untuk siapa?. Banyak infrastruktur yang justru menghubungkan real estate ke real estate berikutnya,” tegasnya.
Sebagai bagian dari upaya mendorong keadilan agraria di perkotaan, Dwi Rio bersama rekan-rekannya mendirikan Front Pejuang Tanah untuk Rakyat yang telah mendampingi ratusan kasus sengketa tanah.
“Kami selalu mendampingi rakyat agar bisa mendapatkan alat produksinya. Semua berpijak pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang mengatur tata kelola agar warga memperoleh akses kepemilikan tanah,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin menilai ketimpangan ruang di Jakarta telah menciptakan jurang sosial yang lebar antara kelompok kaya dan miskin.
“Orang kaya hidup di lingkungannya sendiri, bertolak belakang dengan masyarakat kecil. Kota akhirnya gagal menjadi tempat yang melahirkan kohesi sosial,” ungkapnya.
Iwan menegaskan, Reforma Agraria Perkotaan bukan sekadar perluasan makna dari reforma agraria di pedesaan, melainkan kebutuhan akan keadilan spasial. Ia mendorong Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mempercepat pengakuan dan status hukum bagi permukiman rakyat.
“Tanah negara harus jelas alokasinya. Jangan sampai hanya dinikmati korporasi. Rumah untuk rakyat miskin jangan justru dibeli korporasi,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya penataan ruang yang lebih partisipatif dan pelayanan publik yang berkeadilan.
“Jakarta perlu gubernur yang berani membentuk satgas percepatan penyelesaian konflik agraria. Revitalisasi kawasan rakyat harus dilakukan agar keadilan bisa tercipta,” lajut Iwan.
Sementara itu, pengamat tata ruang dan perkotaan, Dedy Rachmadi, menyoroti rendahnya literasi hukum masyarakat terhadap Undang-Undang Pokok Agraria.
“Banyak di antara kita saja yang bias membaca UUPA, apalagi masyarakat umum. Padahal pemahaman ini penting sebagai dasar perjuangan,” katanya.
Ia menegaskan bahwa masalah ketimpangan penguasaan tanah telah membuat fungsi sosial tanah terabaikan. Karena itu, ia mendorong agar gagasan Reforma Agraria tidak hanya berpijak pada mekanisme ekonomi pasar.
“Bagi alumni GMNI, isu konflik lahan, penggusuran, dan krisis perumahan menjadi relevan untuk diperjuangkan. Ke depan, kita butuh Reforma Agraria yang berpihak pada rakyat,” tandasnya.
Diketahui, FGD tersebut disebutkan oleh panitia, merupakan rangkaian kegiatan menuju Konferensi Daerah (Konferda) V PA GMNI Jakarta Raya yang nantinya digelar oleh DPD PA GMNI Jakarta Raya.
Dengan tema besar ‘Menyongsong 500 Tahun Jakarta dan Tantangan Membangun Peradaban Kota’ forum ini menjadi wadah konsolidasi gagasan para pemikir, aktivis, dan pejabat publik lintas generasi dalam semangat marhaenisme dan keadilan sosial.
“Rencananya akan dilaksanakan empat seri FGD, yaitu soal agraria, tata kelola pemerintahan, Jakarta sebagai kota berdikari secara ekonomi, dan komitmen negara atas layanan jaminan sosial,” ucap Lukman Hakim, Ketua Pantia Konferda V.
Dalam Focus Group Discussion maupun pembukaan Konferda V, pihak penyelenggara Konferda akan menghadirkan berbagai narasumber dari Tokoh-Tokoh Nasional yang sudah berpengalaman dibidangnya masing-masing.
“Kami menghadirkan narasumber tokoh nasional, baik dalam sesi FGD dan pembukaan Konferda V. Dipilih nama, seperti Anies Baswedan, Soni Sumarsono, Djarot Saiful Hidayat, Bambang Wuryanto, Ganjar Pranowo, Prof Muradi, Agung Nugroho, Renanda Bachtar, Karyono Wibowo, Agus Jabo, Ichsanudin Noorsy, Rocky Gerung, Adi Prayitno, dan tokoh lainnya. Pada konferda, kami juga mengundang Gubernur Jakarta sebagai keynote speaker,” pungkas Lukman Hakim.***
Penulis: Redaksi/Editor: Bung Wadhaar.