Marhaenist.id – Kasus dugaan kriminalisasi seorang guru honorer di Kecamatan Baito sontak mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat Indonesia. Kendati demikian, sampai saat ini belum mendapatkan titik terang dalam penyelesaian kasusnya.
Supriyani, guru honorer di SDN 4 Baito, Desa Wonua Raya, Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra), ditahan polisi. Supriyani ditangkap gegara dituduh dengan dugaan menganiaya siswa berinisial D (6 thn), anak Aipda Wibowo Hasyim, personel Polsek Baito.
Supriyani dilaporkan ke Polsek Baito Konsel pada Kamis (25/4/2024) lalu. Ia dilaporkan atas dugaan kekerasan terhadap siswanya berinisial D. Supriyani pun dijadwalkan menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, pada Kamis (24/10/2024).
Saat ini banyak dari elemen masyarakat bahkan Para Pejabat yang ada di Indonesia sampai DPR RI menaru empati terhadap kasus Supriyani termasuk Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Dugaan kriminalisasi atau adanya rekayasa kasus terhadap Supriyani mencuat karena dianggap janggal dalam penetapannya sebagai tersangka, hingga ia harus melewati proses persidangan di PN Andoolo.
Inilah rangkuman kejanggalan Kasus Hukum Ibu Guru Supriyani hingga penetapannya tersangka oleh Penyidik Polsek Baito Konsel:
1. Keterangan Korban yang berumur 6 Tahun saat ditanya oleh Ibunya terhadap luka yang dideritanya berubah-ubah.
– Pertama keterangan Korban mengatakan jatuh disawah.
– Setelah mengalami tekanan, ia mengatakan dipukul Guru Supriyani.
2. Dua alat bukti yang tidak kuat.
– Sapu ijuk yang diduga digunakan untuk menganiaya korban.
Sapu ijuk yang dihadirkan sebagai alat bukti dipertanyakan. Pasalnya, alat bukti itu dibawah langsung oleh perlapor ke Polsek Baito yang entah dari mana. (Katanya sih, diambil dari TKP).
Mestinya alat bukti itu harus steril dari siapapun sebelum diambil sampel sidik jarinya untuk membuktikan tangan siapa yang terakhir memegang sapu ijuk itu dan harus pula diambil langsung oleh pihak kepolisian dari olah TKP.
– Bukti foto luka dan hasil visum.
Jika diperhatikan foto luka dari korban, banyak yang berpendapat bahwa lukanya tidak singkron dengan gagang sapu ijuk yang lurus dan mulus sementara lukanya tidak beraturan, termasuk pendapat Susno Duadji (Mantan Kabareskim Polri).
3. Keterangan Ibu Guru Supriyani dan guru lainnya tidak didengarkan dan digubris.
Keterangan Ibu Supriyani mengatakan bahwa ia bukanlah guru kelas dari Korban karena ia adalah guru kelas 1B sedangkan korban adalah murid kelas 1A dengan guru yang berbeda, jadi mana mungkin ia bertemu dengan korban apalagi menganiaya-nya.
Guru kelas yang mengajari korban di kelas 1A memberikan kesaksian bahwa tidak penganiayan yang dilakukan oleh Guru Supriyani seperti yang dituduhkan dalam berkas laporan di Polsek Baito termasuk waktu dan tempatnya.
4. Ibu Guru Supriyani diduga dipaksa untuk memberikan pengakuan demi kelengkapan berkas penetapanya sebagai tersangka.
Ibu Guru Supriyani memberikan keterangan bahwa dirinya dipaksa mengakui atas perbuatan yang tidak pernah ia lakukan. Ini berawal ia diminta untuk melakukan permohonan maaf dengan harus mengakui bahwa ia telah melakukan penganiayaan dengan dalih agar kasus ini tidak berlanjut, tetapi pada kenyataannya kasus ini malah tetap berproses sampai ke Pengadilan.
Alasan dari Pelapor melanjutkan kasus ini dikarena permohonan maaf yang dilakukan oleh Ibu Guru Supriyani tidak iklas kepada keluarga pelapor sehingga memperkarakanya lebih lanjut.
5. Terkesan mencari uang karena tersiar kabar ada Permintaan uang damai sebesar 50 juta.
Untuk pembahasan ini, siapa yang sebenarnya meminta uang damai 50 juta, sampai sekarang belum ada kejelasan. Dari pihak korban atau pelapor menyatakan tidak pernah meminta uang damai apalagi dengan besaran 50 juta.
Untuk hal ini, masih didalami oleh pihak kepolisian yang sampai saat ini belum ada kejelasan.
Ini menimbulkan tanda tanya, apakah benar ada permintaan uang damai sebesar itu atau tidak? Ataukah mereka (oknum-okmun yang terlibat dalam urusan perdamaian selain pihak korban) adalah dalang hingga tersebutlah uang damai sebesar 50 juta?
6. Tujuh orang saksi yang dihadirkan di PN tidak kuat dan tidak diperbolehkan dalam hukum karena masih dibawah umur (Sekitar umur 6 tahunan).
Tujuh orang saksi yang dihadirkan dalam perkara Ibu Supriyani adalah anak dibawah umur, yakni seumuran dengan korban yang jugs teman sekelasnya. Umur mereka sekitar 6 tahunan dan ini tidak diperbolehkan dalam Hukum Positif di Indonesia.
Dari tujuh orang saksi, 5 orang mengatakan tidak ada penganiayan dan 2 saksi lainnya mengatakan ada penganiayaan yang dilakukan oleh Ibu Guru Supriyani. Justru, kesaksian 2 orang tersebut diyatakan sebagai sumber kebenaran, sementara kesaksian 5 lainnya digugurkan sebagai sumber kebenaran.
Itupun, kesaksian dari 2 orang saksi dibawah umur itu, berbeda-beda dan ada yang menyatakan bahwa saat Ibu Supriyani melakukan penganiayan disaksikan oleh seluruh murid yang ada dikelas dan juga disaksikan oleh Ibu Guru kelas 1A, sementara keterangan Ibu Guru kelas 1A menyatakan tidak penganiayaan atau melihat penyaniayaan tersebut.
7. Eksepsi atau Keberatan dari Ibu Guru Supriyani di Tolak Hakim PN Andoolo.
Eksepsi untuk memberikan hak kepada Ibu Guru Supriyani melalui pengacaranya untuk mengajukan keberatan terhadap keabsahan dakwaan ditolak oleh Hakim PN Andoolo.
Ini menandakan adanya kecurigaan besar dan kuat atas adanya dugaan kriminalisasi terhadap Ibu Guru Supriyani karena Eksepsi keberatan yang didalamnya sanggahan atau pembelaan terhadap kasusnya tidak diterima oleh Hakim.*
Itulah rangkuman kejanggalan kasus hukum Ibu Guru Supriyani yang lagi viral se-Indonesia yang dihimpun oleh Redaksi Marhaenist.id yang juga merupakan warga Kota Kendari yang masih berbatasan dan masih satu wilayah provinsi dengan Kabupaten Konsel di Sultra.***
Penulis: La Ode Mustawwadhaar, Redaksi Marhaenist.id, Sarjana Hukum asal Universitas Nahdlatul Ulama Sulawesi Tenggara.