Marhaenist.id, Jakarta – Setelah empat kali amendemen, konstitusi Indonesia dinilai problematik. Gagasan para pendiri bangsa dan jati diri digali untuk mencari model yang paling tepat. Harapannya, semua warga negara bisa terlibat dalam pembangunan dan mendapat kesejahteraan.
Hal ini menjadi benang merah dalam peluncuran dan bincang buku berjudul Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca-Perubahan UUD 1945 yang ditulis Abdy Yuhana, Sekretaris Jenderal Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI), di Kompas Institute, Jakarta, Jumat (4/7/2025).
Hadir dalam acara yang diselenggarakan Penerbit Buku Kompas ini, antara lain, Wakil Presiden (1993-1998) Try Sutrisno, Ketua Dewan Ideologi DPP PA GMNI dan pemerhati sosial Guntur Soekarnoputra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, pemikir kebinekaan Sukidi, serta anggota DPR, Bambang Soesatyo. Diskusi dipandu wartawan Harian Kompas di Istana Kepresidenan (2004-2025), Suhartono, sebagai moderator.
Menurut Try yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), setelah empat kali amendemen UUD 1945, banyak ketidakkonsistenan secara paradigma, teori, dan konsep. Salah satu yang disorot adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang tak lagi menjadi lembaga tertinggi negara.
Selain itu, tak ada lagi haluan negara yang menjadi arah pembangunan. ”Yang ada sekarang rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) yang dibuat Bappenas, tetapi ini organnya presiden atau eksekutif,” ujar Try.
Guntur Soekarnoputra pun menilai model demokrasi saat ini terlalu liberal kapitalis, dengan seorang kandidat dinyatakan memenangi pemilu ketika mendapatkan suara 50 persen ditambah satu. Padahal, katanya, beberapa tahun lalu Presiden Iran (2013-2021) Hassan Rouhani sudah menyatakan bahwa demokrasi liberal sudah bangkrut.
Bambang Soesatyo pun menilai saat ini sistem demokrasi dan ekonomi Indonesia sudah tercerabut dari akar. Sistem demokrasi saat ini, menurut dia, hanya berbasis angka, transaksional, dan brutal. ”Celakanya, demokrasi kita semakin mahal. (Saat ini) enggak mungkin hanya mengandalkan integritas dan popularitas, tanpa isi tas yang jelas,” tuturnya.
Oleh karena itu, wacana amendemen dimunculkan kembali. Bambang pun mengungkapkan usulan perubahan mekanisme pemilihan wakil presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang diusulkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Jimly Asshiddiqie.
Dalam usulan itu, pemilihan presiden tetap secara langsung oleh rakyat, tetapi kemudian wakil presiden dipilih dan ditetapkan oleh MPR berdasarkan satu atau dua nama yang diajukan langsung oleh presiden terpilih.
Gagasan ini makin relevan dengan ketentuan baru yang meniadakan persyaratan ambang batas 20 persen pencalonan presiden. Membuka peluang calon presiden lebih dari tiga orang, dengan mengurangi keharusan untuk dibentuknya gabungan partai politik sebelum pemilu yang cenderung bersifat transaksional.
”Di tengah tuntutan demokratisasi yang lebih substansial dan kebutuhan akan stabilitas pemerintahan yang kuat, pemisahan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden dapat menjadi solusi atas sejumlah problem sistemik dalam praktik demokrasi elektoral kita. Salah satunya, tekanan kompromi politik dalam proses pencalonan pasangan capres-cawapres yang kerap kali menimbulkan distorsi arah kepemimpinan nasional,” tutur Bambang.
Arief Hidayat pun memilih menggunakan pemikiran Bung Karno terkait musyawarah mufakat yang semestinya diutamakan. ”Mestinya lembaga-lembaga tidak dihasilkan dari one man one vote, tetapi diolah pada bersatu padunya unsur-unsur seluruh masyarakat yang mewakili di badan-badan perwakilan rakyat,” katanya.
Penulisan buku Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca-Perubahan UUD 1945, menurut Abdy, sekaligus menunjukkan kelemahan-kelemahan praktik ketatanegaraan setelah konstitusi diamendemen. ”Karena konstitusi dibuat untuk manusia, harapannya, jangan tabu untuk melakukan perbaikan,” ujar doktor hukum tata negara Unpad tersebut.
Abdy pun melihat gagasan awal para pendiri bangsa dalam merumuskan konstitusi, yakni konsep pembangunan negara yang melibatkan seluruh rakyat yang direpresentasikan baik dalam partai politik, utusan golongan, dan utusan daerah.
”Dengan demikian, ketika bicara tentang negara, rakyat semua dilibatkan. Hari ini praktik ketatanegaraan kita, menurut hemat saya, bergeser dari apa yang digagas para founding father, di mana urusan negara diberikan salah satu cabang kekuasaan negara, yaitu presiden,” tutur Abdy Yuhana.
Alasan penghapusan wakil daerah dan wakil golongan pun dinilai tak konseptual, tetapi sangat pragmatis, yakni karena sulit untuk menentukan siapa yang masuk sebagai utusan golongan serta kekhawatiran kolusi antara yang diangkat dan mengangkat seperti di masa Orde Baru.
Wacana untuk perbaikan-perbaikan, menurut Abdy, perlu dibuka. ”Ada yang menghendaki kembali ke UUD 1945 dulu lalu dibuat perubahan secara adendum atau ada juga yang berpendapat harus dilakukan perubahan terus,” katanya.
Namun, Abdy berharap, konsep negara dibangun bersama-sama oleh seluruh kekuatan yang ada di Indonesia, seperti yang diusung para pendiri negara, bisa dilanjutkan.
Wacana yang dibahas dalam buku Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca-Perubahan UUD 1945, menurut Pemimpin Redaksi Harian Kompas Haryo Damardono, sangat fundamental. Oleh karena itu, penulis bisa melanjutkan bahasannya terkait ekses amendemen pada berbagai institusi yang ada. Selain itu, Kompas akan terus menyediakan ruang untuk diskusi dan wacana terkait proses fundamental bangsa.
Ciri Indonesia
Try Sutrisno pun berharap Indonesia bisa memiliki konsep demokrasinya sendiri. ”Kita harus mempelajari situasi dunia, konsep-konsep dunia, tetapi harus bisa menggali (model sendiri) dari bumi Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Sukidi lebih mengingatkan keharusan aturan hukum ditegakkan dan dipatuhi. ”Warisan Bung Karno dan Bung Hatta adalah republik demokratis harus disandarkan pada the rule of law supaya tidak muncul tirani kekuasaan,” katanya.
Kenyataannya, menurut Sukidi, Bank Dunia menyebutkan kekayaan alam hanya berkontribusi 23 persen dalam kemakmuran suatu bangsa. Dalam konteks berbangsa, faktor yang lebih menentukan adalah kepatuhan pada aturan hukum. Bank Dunia pun menyebut hal ini berkontribusi 44 persen pada kemakmuran bangsa.
”Indonesia tidak maju, tetapi malah terseok-seok karena hukum tidak dipatuhi, malah dieksploitasi untuk kepentingan kekuasaan,” kata Sukidi.
Dikutip dari artikel Kompas 4 Juli 2025.
Kredit foto: Abdy Yuhana