Marhaenist – Seperti diketahui GmnI terlahir pada tanggal 23 Maret 1954 di Surabaya. GmnI merupakan salah satu organisasi mahasiswa ekstra-universiter. Bentuknya sebagai organisasi kader di kalangan mahasiswa.
Dalam sejarah berdirinya, GmnI merupakan peleburan/fusi dari 3 organisasi mahasiswa sejenis yang sebelumnya sudah ada. Yakni: Gerakan Mahasiswa Marhaen (berbasis di Yogyakarta), Gerakan Mahasiswa Merdeka (berbasis di Surabaya), dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (berbasis di Jakarta).
Hal ini terjadi sesudah adanya keinginan kuat dari ketiga organisasi tersebut untuk menyatukan berbagai organisasi mahasiswa-nasionalis di Indonesia dalam satu wadah. Atas inisiasi S.M Hadiprabowo bersama Selamet Djajawidjaja, Haruman, Selamet Rahardjo dari Gerakan Mahasiswa Merdeka, dan kemudian bersama Wahyu Widodo, Subagyo Masrukin dan Sri Soemantri dari Gerakan Mahasiswa Marhaenis, maka gerakan ini melaju ke arah fusi.
Dari beberapa kali pertemuan di kediaman Wali Kota Jakarta saat itu (setara Gubernur) Soediro, terbentuklah kesepakatan bersama untuk berfusi atau melebur diri dalam satu wadah organisasi mahasiswa nasionalis.
Kesepakatan untuk berfusi itu, baik secara organisatoris maupun secara ideologis, dituangkan dalam satu wadah organisasi bernama: Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) dengan Nasionalisme dan Marhaenisme sebagai ideologinya.
Dalam sejarahnya, Kongres GmnI ke-1 diadakan di Surabaya. Organisasi ini mendapat restu langsung dari Presiden Soekarno pada tanggal 23 Maret 1954. Tanggal dan peristiwa tersebut, kemudian “dipatenkan” menjadi tanggal, bulan dan tahun lahir GMNI. Dan kemudian selalu diperingati sebagai Dies-Natalis kelahiran GMNI.
Sebagai organisasi ekstra-universiter dan organisasi kader, maka GMNI telah melintas zaman sedemikian rupa. Penuh dengan berbagai suka-duka. Romantik dan dialektik dalam eksistensi dan kiprahnya di berbagai cuaca rezim kekuasaan politik di negeri ini. Baik masa kejayaan, masa penderitaan, masa konsolidasi, masa perdebatan sayap-bukan sayap dan; masa menuju kebangkitan kembali.
Demikian pula, dengan para alumni-nya yang melintas zaman sedemikian rupa, dengan pahit-getirnya dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Untaian sejarah telah mencatat pergerakan GmnI, dan itupun harus menjadi salah satu sumber pembelajaran para alumni GMNI sebagai kader bangsa. Penulis berpendapat bahwa “historia is contextuality, not is the past always”.
Permasalahan
Sedemikian banyaknya alumni GMNI itu tersebar sejak organisasi ini berdiri. Namun selama masa Orde Baru hampir 32 tahun, GMNI dan para alumni-nya lebih banyak mengalami pahit dan getirnya gerakan sebagai ekses “Politik De-Soekarnoisasi”. “Stigma” tertentu yang dilekatkan kepada GMNI dan alumninya oleh Orde Baru.
Walaupun kita sama-sama mengetahui ada sosok Siswono Yudohusodo yang dua kali menjadi Menteri Presiden Soeharto (Menteri Perumahan Rakyat dan Menteri Transmigrasi & Perambah Hutan); lalu Theo L Sambuaga sebagai tokoh dan dedengkot parlemen RI dan pernah menjadi Menteri Tenaga Kerja Presiden Soeharto (14 Maret-21 Mei 1998) dan Menteri Perumahan Rakyat di Era Presiden Habibie; Palar Batubara yang menjadi Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan (Golkar) DPR RI; Daryatmo Mardiyanto di DPR; dam kemudian terlepas dari kontroversi di akhir kariernya, ada Soerjadi sebagai anggota DPA RI 1983-1987 dan Wakil Ketua DPR/ MPR 1987-1997 dan; ada Soekarwo serta Awang Faroek Ishak di birokrasi pemerintahan daerah masa Orde Baru. Awang Faroek Ishak kemudian menjadi Gubernur Kalimantan Timur 2008-2013 dan Soekarwo menjadi Gubernur Jawa Timur 2008-2018, dan para alumni GmnI lainnya.
Di masa Orde Baru, praktis GMNI dan organisasi para alumni GMNI pada umumnya, sulit melakukan konsolidasi. Bahkan GMNI mengalami kemunduran, karena iklim politik yang tidak kondusif terhadap GMNI dan para alumni GMNI pada umumnya selama bagian terbesar dari era Orde Baru.
Tentang organisasi alumninya saja, barulah pada tahun-tahun 1990-an beberapa Alumni GMNI kemudian menginisiasi adanya sebuah wadah organisasi alumni yang diharapkan dapat menghimpun dan mengkonsolidasi semua potensi alumni GMNI.
Pertemuan demi pertemuan dilakukan dengan jalan cukup berliku, maka kemudian lahirlah organisasi Forum Komunikasi Alumni GMNI (FKA GMNI). FKA GMNI berhasil meyelenggarakan 3 kali Munas dan dalam Munas ke-3 itulah, diubah nama organisasinya menjadi Persatuan Alumni GMNI (PA GMNI), dan Munas ke-3 menjadi Kongres I Persatuan Alumni GMNI di Jakarta.
Kemudian lanjut dengan Kongres ke-2 PA GMNI di Surabaya 2010; Kongres ke-3 PA GMNI di Jakarta tahun 2015, dan Kongres ke-4 PA GMNI yang akan diselenggarakan di Bandung tanggal 21-23 Juni 2021.
Pertanyaannya, bagaimana sesungguhnya posisi organisasi PA GMNI sebagai organisasi alumni terhadap partai-politik? Bagimana masa depan organisasi ini yang saat ini dalam satu wadah PA GMNI dapat berperan secara efektif dan massif?
Lalu, apa yang dapat dikontribusikan organisasi PA GMNI ini kepada masyarakat, bangsa dan negara RI? Hal ini kiranya dapat menjadi tugas Kongreske-4 PA GMNI memastikannya, agar PA GmnI hasil Kongres IV efektif dan lincah bergerak untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara RI.
Bukan “Sayap” Partai Politik
Sempat beredar kabar tentang adanya pikiran tentang PA GMNI sebagai “sayap” PDI Perjuangan sebelum atau di sekitar Konferda PA GMNI Jawa Tengah April 2021. Padahal Kongres ke-5 GMNI di Salatiga tahun 1969 menelorkan gagasan independensi organisasi GMNI, dan telah meletakkan dasar-dasar posisi dan haluan organisasi GmnI dengan menegaskan prinsip independensi GMNI.
Keputusan Kongres IV GMNI di Jakarta tahun 1976, telah mengukuhkan dan menetapkan Independensi GMNI dan menegasan Marhaenisme sebagai asas organisasi GMNI. Sejak itu hingga saat ini-pun GMNI adalah organisasi kader yang berposisi Independen.
Artinya organisasi GMNI, bukanlah bagian dari organ partai politik apapun, apalagi sebagai organisasi “sayap” partai politik, dan juga bukan merupakan bagian dari “sayap” ormas apapun juga.
Tentu saja tidak ada ikatan organisatoris struktural GMNI dengan partai politik atau organisasi kemasyarakatan apapapun. Terkecuali bisa saja pada kesamaan ideologis ataupun visi dan misi kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
GMNI merupakan organisasi kader yang mencetak kader dari mahasiswa di berbagai perguruan tinggi untuk menjadi kader Nasionalis dan Marhaenis, sekaligus sebagai penerus ajaran Bung Karno sebagai Bapak Bangsa.
Organisasi GMNI sejak sejak Kongres V dan Kongres VI, bukan lagi bagian dari “slag-orde” partai politik apapun di negeri ini. Benar, bahwa dalam sejarahnya GmnI berafiliasi secara ideologis, programatik dan organisasi kepada PNI.
Namun perlu diingat, bahwa PNI pada tahun 1973 telah berfusi di dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang lahir 10 Januari 1973 bersama Partai Katolik, Parkindo, Partai Murba, dan IPKI sebagai bagian pelaksanaan Kebijakan Restrukturisasi Kepartaian Orde Baru.
Dalam perkembangannya yang penuh romantik dan dialektik serta dengan segala pahit getirnya melalui pertarungan politik yang panjang di era Orde Baru, dalam proses historis, proses sosiologis dan proses politik, terbentuklah PDI Perjuangan tahun 1998. Partai ini tetap mengambil hari lahirnya tanggal 10 Januari 1973 sebagaimana PDI hasil fusi kelima partai politik tersebut tahun 1973.
Melihat pada kenyataannya organisasi GMNI sejak Kongres V 1969 di Salatiga dan Kongres VI 1976 di Ragunan – Jakarta hingga saat ini jelas merupakan organisasi kemasiswaan independen. Maka sangat logis jika organisasi alumni-nya pun demikian juga. Yakni merupakan organisasi Alumni GMNI yang independen, bukan merupakan “sayap” dari partai politik apapun.
Penulis meminjam istilah Ketua DPD PA GMNI Jawa Barat, Bung Abdi Yuhana bahwa “PA GMNI ibarat sungai, maka dengan irigasi yang baik, aliran sungai itu akan mengairi petak-petak sawah yang ada, menjadi air bersih yang bermanfaat bagi orang banyak dan seterusnya”.
Maka menurut penulis, organisasi PA GMNI hendaknya “seperti air dari hulu sungai, hingga ke muaranya bermanfaat untuk kehidupan orang banyak dan selalu mewarnainya”. Dalam pandangan penulis, PA GmnI harus “menyebar” kader ke semua lini strategis masyarakat, bangsa dan negara, sehingga bermanfaat untuk semua orang, tanpa melihat partai politiknya.
Jika organisasi Alumni GMNI dianggap, atau bahkan diposisikan dan dipergunakan sebagai layaknya “sayap” partai politik, maka hal ini akan mengecilkan kebesaran GmnI dan membatasi Alumni GmnI hanya dalam satu kotak partai politik tertentu.
Akibatnya, organisasi ini akan menjadi kerdil dan menyempit masuk hanya dalam satu kotak partai politik. Maka jika demikian organisasi, PA GMNI tak dapat merwarnai kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia melalui kekuatan-kekuatan strategis lainnya sebagai komponen bangsa, termasuk partai-partai politik di luar kotak yang menganggap/ memperlakukan PA GmnI sebagai sayap partai politik. Sebab Alumni GMNI, tak hanya ada di dalam partai politik, namun juga terdapat di dalam birokrasi pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Kader-kader alumni GmnI juga masuk di dalam organisasi penyelenggara pemilu.
Alumni GMNI juga terdapat di dunia usaha dan di dunia akademik di kampus-kampus sebagai dosen profesional dan bahkan sebagai Guru Besar di beberapa perguruan tinggi terkemuka. Dengan demikian, berpikir dan berkeinginan atau bahkan “mengupayakan” atau “memperlakukan” PA GMNI sebagai “sayap” partai politik sama artinya dengan mengkerdilkan dan mengecilkan PA GMNI yang menjadi terbelenggu dalam kotak satu partai politik.
Pikiran ini sama sekali a-intelektual, a-historis dan a-sosiologis. Karena itu, PA GmnI secara internal, tidak perlu “sungkan” untuk bercermin sebagai oto-kritik di internal dengan melihat dan belajar dari organisasi alumni kemahasiswaan lainnya yang cukup besar dan berpengaruh di negeri ini, agar bisa lebih cepat bergerak dan bebas bergerak untuk kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas melampaui sekat-sekat partai politik apapupun, termasuk di dunia usaha.
Jika PA GmnI dianggap atau diperlakukan sebagai organisasi sayap partai politik, maka pertanyaannya, bagaimana dengan para alumni GmnI yang ada di lembaga-lembaga negara Non DPR/ MPR seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, KPU, Bawaslu, PNS di berbagai Kementerian, para dosen atau guru Besar di berbagai perguruan tinggi, baik negeri ataupun swasta dan juga di komisi-komisi negara? Tentu tidak mungkin mereka dianggap bagian dari partai politik tertentu lantaran adanya upaya “memperlakukan” PA GmnI sebagai organisasi sayap partai politik.
Sulit memberikan argumentasi bagaimana GmnI dan PA GmnI sebagai sayap partai politik. Sungguh pikiran ini menimbulkan “keruwetan” atau bahkan “sesat-pikir” dalam memaknai sebuah eksidten, peran dan kiprah PA GmnI. Hal ini mudah dibaca, hanya lantaran kepentingan pribadi kawan Alumni GmnI yang mungkin saja sudah terlalu nyaman di dalam partai politiknya.
Sungguh hal ini, akan membatasi ruang gerak Alumni GmnI yang berada di luarnya. Alangkah indahnya, jika para Alumni GmnI itu menyebar dan mempengaruhi serta mewarnai berbagai pikiran dan arah kelembagaan negara dan pemerintahan dengan satu hulu dan muara yang sama. Jikalau itu di DPR, maka akan memudahkan perwujudan visi dan misi yang sama untuk bangsa dan negara kesatuan RI bersama partai-partai politik yang sehaluan nasionalis di dalam parlemen.
Alumni GmnI harus didorong dan dibebaskan untuk mewarnai dimana-mana, tetapi dalam hulu dan muara yang sama. Alumni GmnI yang tersebar itu, akan kembali ke “markas besarnya” yang sama yaitu sekarang di Cikini.
Kembali ke Ruh GmnI, bukan kepada “Sayap”
Oleh karena itu, Kongres Ke IV PA GmnI di Bandung tanggal 21-23 Juni 2021, harus menjawab dan memastikan semua ini. Tidak boleh ada tafsir-tafsir pribadi terhadap hal-hal yang bersifat prinsip, terhadap hal-hal yang fundamental, terkecuali untuk hal-hal yang bersifat taktis dan operasional.
Hulu dari pada PA GmnI, baik secara organisasi maupun secara individual, adalah pada satu Maha Guru Besar/Bapak Marhanisme Indonesia ialah Bung Karno dengan ajaran-ajarannya di berbagai bidang kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan RI, dan bahkan dunia internasional termasuk dalam hal-hal yang bersifat teknik/teknologi untuk pembangunan dan kesejahteraan seluruh rakyat dan bangsa Indonesia tanpa terkecuali.
Jiwa dan roh dari sumber ajaran kader GmnI dan Alumni GmnI adalah ajaran Bung Karno. Kita bersyukur, bahwa Bung Karno juga adalah seorang ilmuwan dan philosof besar yang dibuktikan dari anugerah 26 Gelar Doktor Honoris Causa dari 26 universitas di berbagai belahan dunia yang diterimanya.
Bukan saja di perguruan tinggi nasional, melainkan juga di luar negeri, baik di negeri-negeri Blok Barat yang kapitalis dan liberalis itu, negeri-negeri Blok Timur yang sosialis itu dan di negeri-negeri Islam di Timur Tengah di era 1945-1970.
Ke hulu inilah, kita mesti kembali dengan langkah menyebarkan kader-kader Alumni GmnI terbaik ke berbagai institusi strategis masyarakat, bangsa dan negara tanpa dibatasi oleh adanya “sekat-sekat” partai politik.
Karena itu, Kongres ke-4 PA GmnI mesti memberi penegasan ini dalam konsep “Revitalisasi Posisi dan Peran Strategis Persatuan Alumni GmnI” dengan prinsip Independensinya yang hakiki. Kongres IV ini, harus menjadi wahana Re-Konsolidasi Total Alumni GmnI melalui eksistensi, peran dan kiprah Persatuan Alumni GmnI.
Kepengurusan Persatuan Alumni GmnI hasil Kongres IV nanti, harus mampu menjamin tindak lanjut dari pelaksanaan Re-Konsolidasi tersebut untuk kepentingan bangsa dan negara RI, bahkan sebagai salah satu pilar bangsa dan negara kesatuan RI melalui para kadernya yang “tersebar dan disebar”.
Kepengurusan pusat hasil Kongres IV, hendaknya wajib mencerminkan keberagaman kader-kader Alumni GmnI, baik dari sisi partai politik, perguruan tinggi, birokrasi pemerintahan, asal-usul kader dari sisi daerah, agama dan suku bangsa yang mencerminkan “penjelmaan kebangsaan Indonesia” di dalam wadah PA GmnI sebagai “miniatur-bangsa”.
Karena itu, bentuk kepengurusan Presidium, layak dan patut dipertimbangkan untuk maksud tersebut, bahkan menjadi Keputusan Kongres ke-4 PA GmnI. Kepengurusan pusat dan di bawahnya, harus diiisi oleh kader yang berpengalaman yang kebetulan sudah ada di berbagai partai-politik dan tidak boleh ada “dominasi tertentu” yang membuat langkah PA GmnI menjadi terhambat karena “kepentingan sempit” alumninya di partai politik, terkecuali kepentingan bangsa dan negara kesatuan RI.
Kepengurusan PA GmnI mendatang, harus berjuang meyebarkan kader Alumni GmnI ke berbagai partai politik yang berhaluan nasionalis dan hendaknya Alumni itu didorong untuk meniti karir di semua partai politik berhaluan nasionalis, baik di pusat maupun di daerah, sehingga berhasil meraih posisi strategis dalam partai politiknya masing-masing, agar dapat efektif memperkuat perjuangan visi dan misi kebangsaan dan kenegaraan RI sebagaimana ajaran Bung Karno, setidaknya dapat mewarnainya.
Hal ini penting untuk memudahkan komunikasi dialogis antara partai-partai politik yang berhaluan nasionalis guna mempercepat perwujudan visi kebangsaan Indonesia yang hakiki dan luhur berdasarkan Pancasila sesuai hakikat kelahiran Pancasila itu sendiri.
Penutup
Demikian, harapan banyak kalangan kepada Kongres ke-4 Persatuan Alumni GmnI setidaknya menuurut pencermatan Penulis, agar benar-benar menjadi wahana Re-Konsolidasi, Re-Vitalisasi, dan Re-Posisi Haluan (Tiga-Re PA GmnI) dan Kiprah PA GmnI dalam mengabdi kepada rakyat, masyarakat, bangsa dan negara kesatuan RI.
Sehingga PA GmnI benar-benar DILIHAT dan TERLIHAT dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Selamat Ber-Kongres IV Persatuan Alumni GmnI pada 21-23 Juni 2021 di Bandung. Merdeka!
Oleh: Ganjar Razuni Atmosedjono, Sekretaris Dewan Pakar Nasional Pengurus Pusat Persatuan Alumni GmnI 2010-2015 dan Anggota Dewan Pakar Nasional DPP Persatuan Alumni GmnI 2015-sekarang.