Pandemi Covid-19, gempuran perang asimetris, menjadi ujian yang nyata bagi pertahanan dan ketahanan bagi Indonesia dengan segala macam varian kebijakan pembatasan yang berefek pada lambannya aktivitas baik negara maupun masyarakatnya. Kendati demikian, berdasarkan data jumlah penduduk Indonesia, selama masa pandemi hingga transisi menuju era Pasca Pandemi, mengalami peningkatan. Melalui rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada tahun 2022 menunjukkan angka 275,7 Juta jiwa, pada tahun sebelumnya yakni 2021 menunjukkan angka 272,6 juta jiwa dan tahun 2020 menunjukkan angka 270, 2 juta jiwa.[1]
Berdasarkan data World Population Prospects 2022 yang dirilis oleh United Nations (Perserikatan Bangsa – Bangsa),[2] Indonesia menempati posisi ke 4 dibawah Tiongkok dengan 1,418 Miliar jiwa, disusul oleh India dengan 1,4 Miliar jiwa, dan Amerika Serikat dengan jumlah populasi penduduk kurang lebih berkisar 338, 9 juta jiwa. Angka tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia dalam menjalankan agenda kebangsaan maupun kenegaraan dirasa masih berjarak antara Negara maupun Rakyatnya.
Dari total populasi penduduk, informasi dari Badan Pusat Statistik yang dikutip oleh Indonesiabaik.id, Saya mengambil sebuah fenomena yang terjadi di Indonesia adalah Kemiskinan, data menunjukkan bahwa sejak tahun 2018 hingga 2022 mengalami fluktuatif, Yang mana tahun 2022 berada pada angka presentase 9,54% dengan total penduduk miskin 26,16 juta jiwa, angka tersebut turun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yang mana pada tahun 2020 menunjukkan angka presentase 9,78% dengan jumlah penduduk miskin berkisar 26,42 juta jiwa, dan tahun 2021 dengan menunjukkan angka 10,14% dengan jumlah penduduk miskin berkisar 27,54 juta jiwa.[3] Sehingga saya rasa amat, bahwa perlu memunculkan kembali semangat pergerakan yang progresif dan revolusioner dengan memperkuat basis kerakyatan dengan mengembalikan khittah Pembangunan Nasional Semesta Berencana, berangkat dari inspirasi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) No. II/MPRS/1960 tentang Garis – Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961 – 1969 yang ditetapkan di Kota Bandung, pada tanggal 3 Desember 1960. Dalam hal ini, mengentaskan kemiskinan dan memperkuat kesejahteraan rakyat, terinspirasi dari Pasal 3 Bidang Kesejahteraan yang terdapat 3 ayat, yang berbunyi:[4]
- Kebijaksaan Pembangunan dibidang Kesejahteraan ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang merata dalam keseluruhannya
- Menjamin setiap warga negara akan pekerjaan dan penghasilan yang layak guna memenuhi keperluan hidup sehari hari bagi dirinya sendiri beserta keluarganya, seperti antara lain keperluan sandang pangan, perumahan, kesehatan, pendidikan, kebudayaan, keagamaan serta jaminan hari tua.
- Membangunkan usaha usaha khusus untuk meninggikan tingkat hidup kaum buruh, tani, nelayan, dan kaum pekerja pada umumnya dengan menghapuskan beban beban sebagai peninggalan dari hubungan kerja kolonial dan feodal serta memberantas pengangguran.
Selain itu, Pancasila sebagai terjemahan gerakan politik kebangsaan dan kenegaraan berupa Manipol USDEK (UUD Negara Republik Indonesia 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Bangsa) serta menjalankan Trisakti Bung Karno (Berdaulat dibidang Politik, Berdikari dibidang Ekonomi, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan) adalah salah satu kunci utama dalam Pembangunan Nasional yang berorietasi pada Kesejahteraan Rakyat ditopang dengan bidang lainnya, misalnya dibidang Pendidikan, Kekayaan Alam Semesta, Sosial, Keberpihakan Hukum, Keagamaan, dll yang keberpihakan terhadap rakyat yang adil dan makmur.
Hari Internasionalisasi Pancasila sebagai Inspirasi Pembangunan Semesta Berencana Nasional
“Tidak ada Mahakarya lain di Indonesia selain Pemikiran Bung Karno sang penggali Pancasila” sebagai Philosophische Groundslag maupun Weltanschauung. Sebagai anak ideologi Bung Karno, konsistensi dalam memperjuangkan hingga mengusulkan kembali idenya dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan di abad 21 bagi saya adalah rekomendatif yang progresif dan revolusioner yang dikonsepsikan secara sistemik dan terstruktur. Apalagi dimomentum hari 30 September hingga 1 Oktober, informasi tentang dramatisasi politik kongkalikong dengan catatan historis 1965, pembunuhan genosida bagi masyarakat Indonesia yang tak berdosa hingga proses kudeta Bung Karno sebagai Presiden RI adalah Pengkhianatan Terbesar dalam Sejarah Indonesia, yang baru saja memasuki usia kemerdekaan yang tergolong masih muda, yakni berumur 20 tahun.
Dalam hal ini, perayaan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila harus diuji secara akademik, apakah relevan atau bahkan disorientasi esensial terhadap Pancasila itu tersendiri, Sakti atau Sakit merayakan 1 Oktober yang ditetapkan Keputusan Presiden (Keppres) No 153 Tahun 1967 tentang Hari Kesaktian Pancasila itu dikeluarkan pada tanggal melalui 27 September 1967, ketika Soeharto menjabat sebagai Presiden RI ? tentu menjadi tanda tanya yang besar, dengan kerangka berfikir mensaktikan Pancasila dengan asumsi pembantaian 6 Jendral 1 Perwira, 6 Jam dalam 1 Malam (30 September Malam Hari s/d 1 Oktober dini hari). Padahal, sebagaimana yang ditulis oleh Alm. Buya Ahmad Syafii Maarif, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dalam tulisannya di Kompas ID dengan judul “Kesaktian Pancasila dan Kecelakaan Sejarah”.[5] Dalam point argumentasi yang dibangun dalam tulisannya yakni:
“Untuk memahami latar belakang Hari Kesaktian Pancasila itu, prolognya harus dilihat. Seperti kita ketahui, pihak yang melakukan makar —di bawah pimpinan Letkol Untung Syamsuri dengan membunuh enam jenderal Angkatan Darat dan seorang perwira di Jakarta— menyebut gerakannya sebagai G30S (Gerakan 30 September), tanpa dirangkaikan dengan PKI.”
“Tambahan ini diberikan oleh pihak yang menumpasnya, yaitu kekuatan anti makar pimpinan Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) ketika itu. Di Yogyakarta juga terjadi makar pembunuhan terhadap Komandan Korem 072 dan kepala staf korem (kasrem)-nya pada 2 Oktober 1965.”
“Letkol Untung juga membentuk sebuah Dewan Revolusi dengan mendemisionerkan Kabinet Dwikora pimpinan Presiden Soekarno. Bagi saya peristiwa tersebut masih diliputi kabut tebal. Hal itu karena pembentukan Dewan Revolusi menurut siaran resminya adalah untuk menyelamatkan PBR (Pemimpin Besar Revolusi) Bung Karno dari kudeta Dewan Jenderal yang sampai hari ini tidak jelas wujudnya.”
“Mungkin yang dimaksud dengan Dewan Jenderal tersebut adalah perwira tinggi yang dibunuh pada pagi hari 1 Oktober 1965, kemudian diseret ke Lubang Buaya itu. Sasaran yang selamat adalah Jenderal AH Nasution, tetapi putrinya tewas kena tembakan” (Kompas ID, terbut pada 1 Oktober 2021 oleh Ahmad Syafii Ma’arif).
Oleh karena itulah, berangkat dari proses perenungan dan moralitas, saya mencoba mengusulkan Hari Kesaktian Pancasila diganti menjadi Hari Internasionalisasi Pancasila atau Hari Pancasila sebagai Ideologi Pandangan Dunia Pada Tanggal 30 September melalui Ketetapan Presiden (Keppres), sebagaimana saya terinspirasi dari pengusulan Hari Lahir Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Argumentasi saya mengenai pengusulan Hari Internasionalisasi Pancasila berangkat dari pidato Bung Karno, Presiden Republik Indonesia Pertama, dalam pidatonya pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa – Bangsa yang ke XV pada 30 September 1960 dengan judul “To Build A World New” (Membangun Dunia Kembali), jauh sebelum tragedi dramatisasi 30 September 1965 s/d 1 Oktober 1965, hingga muncul ide Hari Kesaktian Pancasila lewat Keppres dikeluarkan oleh Presiden Jendral TNI (Purn) Soeharto.
Di lain itu, Pancasila yang ditawarkan oleh Bung Karno yakni: 1) Believe in God, 2) Nationalism 3) Internationalism, 4) Democracy, 5) Social Justice.[6] Gagasan inilah yang ditawarkan oleh Bung Karno agar dimuat didalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa dan menjadi rujukan rekomendatif, Bahkan Bung Karno pernah mengrkiti Ahli Filsafat dari Barat, Betrand Russell yang menyebutkan bahwa terdapat dua poros kekuatan dunia. Yang Satunya menganut Decalartion of American Independence dari Thomas Jefferson, Golongan lainnya menganut ajaran Manifesto Komunis Uni Soviet.
Maafkan, Lord Russell, akan tetapi saya kira tuan melupakan sesuatu. Saya kira Tuan melupakan adanya lebih dari pada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Camkanlah, kami mengagumi kedua ajaran itu, dan kami telah banyak belajar dari keduanya itu dan kami telah diilhami, oleh keduanya itu.
Siapakah yang tidak akan dapat ilham dari kata-kata dan semangat Declaration of Independence itu! “Kami menganggap kebenaran-kebenaran ini sebagai suatu, yang tak dapat disangkal lagi : bahwa manusia diciptakan dengan hak-hak yang sama, bahwa mereka diberikan oleh AI Chalik hak-hak tertentu yang tak dapat diganggu-gugat, dan bahwa diantara hak-hak itu terdapat hak untuk hidup, hak kemerdekaan dan hak mengejar kebahagiaan”. Siapakah yang terlibat dalam perjuangan untuk kehidupan dan kemerdekaan nasional; tak akan diilhami! Dan sekali lagi, siapakah diantara kita, yang berjuang menegakkan suatu masyarakat, yang adil dan makmur diatas puing-puing kolonialisme, tak akan diilhami oleh bayangan kerjasarna dan perkembangan ekonomi yang dicetuskan oleh Marx dan Engels!
Sekarang telah terjadi suatu konfrontasi diantara kedua pandangan itu, dan konfrontasi itu membahayakan, tidak hanya untuk mereka yang berhadapan tetapi juga untuk bagian dunia lainnya. Saya tidak dapat berbicara atas nama negara-negara Asia dan Afrika lainnya ? saya tidak diberi kuasa untuk itu, dan bagaiamanapun juga mereka sendiri cakap untuk mengemukakan pandangannya masing?masing. Akan tetapi saya diberi kuasa ? bahkan ditugaskan ? untuk berbicara atas nama bangsa saya yang berjumlah sembilan puluh dua juta itu. Sepeirti saya katakan; kami telah membaca dan mernpelajari kedua dokumen yang pokok itu:
Dari masing-masing dokumen itu banyak yang telah kami ambil dan kami buang apa yang tak berguna bagi kami, kami yang hidup dibenua Iain dan beberapa generasi kemudian. Kami telah mensintesekan apa yang kami perlukan dari kedua dokumen itu, dan ditinjau dari pengalaman serta dari pengetahuan kami sendiri, sintese itu telah kami saring dan kami sesuaikan.
Jadi, dengan minta maaf kepada Lord RusselI yang saya hormati sekali, dunia ini tidaklah seluruhnya terbagi dalam dua fihak seperti dikiranya. Meskipun kami telah mengambil sarinya, dan meskipun kami telah mencoba mensintesekan kedua dokumen yang peting itu; kami tidak dipimpin oleh keduanya itu saja. Kami tidak mengikuti konsepsi liberal ataupun konsepsi komunis. Apa gunanya? Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok. “Sesuatu” itu kami namakan “Panca Sila”. Ya, “Panca Sila” atau Lima Sendi Negara kami. Lima Sendi itu tidaklah langsung berpangkal pada Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence.
Memang, gagasan-gagasan dan cita? cita itu, mungkin sudah ada sejak berabad – abad telah terkandung dalam bangsa karni. Dan memang tidak mengherankan bahwa fahamfaham mengenai kekuatan yang besar dan kejantanan itu telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional. (Potongan Singkat Pidato Bung Karno pada Sidang Umum PBB pada tanggal 30 September 1960).
Begitupun, Betrand Russell mengapresiasi dan merespon jawaban dari Pidato Bung Karno. Ia mengatakan “A Good Thinker From East”.
Daftar Referensi:
[1]Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, Jumlah Penduduk Pertengahan Tahun (Ribu Jiwa), 2020-2022, https://www.bps.go.id/indicator/12/1975/1/jumlah-penduduk-pertengahan-tahun.html diakses pada tanggal 16 September 2022.
[2]World Populations Prospects 2022, https://population.un.org/wpp/Download/Standard/MostUsed/ diakses pada tanggal 16 September 2022.
[3]Indonesiabaik.id. https://indonesiabaik.id/infografis/maret-2022-jumlah-penduduk-miskin-indonesia-turun diakses pada tanggal 16 September 2022.
[4] Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) No. II/MPRS/1960 tentang Garis – Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961 – 1969.
[5] Ahmad Syafii Maarif, Kesaktian Pancasila dan Kecelakaan Sejarah terbit di Kompas ID pada 1 Oktober 2021. https://www.kompas.id/baca/opini/2021/10/01/kesaktian-pancasila-dan-kecelakaan-sejarah dikutip pada tanggal 16 September 2022.
[6] Pidato Bung Karno dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 30 September 1960.
Aji Cahyono, Mahasiswa Konsentrasi Kajian Timur Tengah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, tulisan ini bersifat pandangan pribadi tanpa mewakili dari organisasi atau lembaga manapun.