Marhaenist.id, Buton Selatan –Ketegangan politis semakin tajam di Kabupaten Buton Selatan (Busel) menyusul laporan-laporan yang dilayangkan antar elit pemerintahan.
Konflik ini kemudian ditanggapi oleh Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Baubau, yang menyebut perselisihan tersebut sebagai wujud ketidakdewasaan pemimpin daerah, Rabu (21/11/2025).
Latar Belakang Pemilihan dan Sengketa
Ketegangan ini bermula dari dinamika pasca-Pilkada 2024. Empat pasangan calon sebelumnya telah mendaftar ke KPU Busel, dengan pasangan Muhammad Adios – La Ode Risawal ditetapkan sebagai pemenang melalui rekapitulasi resmi.
Namun, proses pemilihan diwarnai tudingan politik uang dari Paslon Nomor 4 (Hardodi – La Ode Amiruddin) yang menyebut adanya praktik money politic secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Mahkamah Konstitusi pada akhirnya menolak permohonan sengketa hasil pemilihan dengan alasan melewati tenggat waktu.
Laporan Saling Serang di Pemerintahan Daerah
Setelah berkuasa, hubungan antara Bupati Busel, Muhammad Adios, dan Wakil Bupati La Ode Risawal diduga mengalami retak. Laporan dugaan penyalahgunaan wewenang kini mencuat:
1. Laporan terhadap Wakil Bupati:
Barisan Pemuda Buton Selatan melaporkan Wakil Bupati ke Kejaksaan Negeri atas dugaan penyimpangan anggaran pada perjalanan dinas.
Mereka menuding bahwa perjalanan dinas Wakil Bupati berlangsung dengan anggaran besar, namun tidak ada pertanggungjawaban publik maupun internal pemerintahan. Laporan tersebut diserahkan melalui aksi demonstrasi ke Kejari Buton pada awal November 2025. kilasbalik.id
2. Laporan terhadap Bupati:
Sementara itu, Aliansi Masyarakat Barakati di Buton Selatan melaporkan Bupati Muhammad Adios ke Kejaksaan Negeri atas dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Menurut aliansi ini, ada ketidakwajaran dalam pengelolaan anggaran proyek dan kebijakan anggaran yang tidak transparan. Kendari Kita
Kedua laporan ini sejatinya mencerminkan konflik internal elite daerah, bukan hanya pertikaian antar kelompok masyarakat biasa.
Respons dari GMNI
Organisasi mahasiswa GMNI — yang dikenal aktif dalam mengawasi dinamika politik lokal — ikut memberi respons keras terhadap konflik tersebut.
Menurut Ketua DPC GMNI Kota Baubau selaku Putra Daerah Buton Selatan, La Ode Ahmad Faisal melihat seri tindakan saling laporan sebagai indikasi kegagalan kepemimpinan:
1. Mereka menilai pemimpin daerah seharusnya menggunakan jalur mediasi internal sebelum membawa persoalan ke jalur hukum.
2. Tindakan publik seperti demonstrasi, laporan pidana, dan tudingan korupsi antar pemimpin puncak pemerintah, menurut GMNI, memperlihatkan bahwa prioritas kekuasaan lebih besar daripada pelayanan publik.
4. GMNI menyerukan agar Bupati dan Wakil Bupati menahan diri dari eskalasi konflik dan segera membuka dialog untuk menyelesaikan masalah tanpa merusak citra pemerintahan dan menimbulkan ketidakstabilan di masyarakat.
Potensi Dampak bagi Pemerintahan Daerah
Konflik ini berisiko menimbulkan beberapa dampak negatif:
1. Gangguan Tata Kelola: Jika konflik terus memanas, kinerja pemerintahan bisa terganggu. Fokus pada pelaporan mungkin mengalihkan perhatian dari program pembangunan dan pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat.
2. Kepercayaan Publik Menurun: Penduduk Buton Selatan bisa kehilangan kepercayaan pada pemimpinnya jika terus menyaksikan pertikaian kekuasaan alih-alih kerja sama pembangunan.
3. Pengawasan Hukum dan Transparansi: Laporan ke kejaksaan membuka peluang proses hukum, yang bisa memunculkan audit anggaran, investigasi, dan bahkan potensi sanksi jika dugaan benar. Ini bisa menjadi pisau bermata dua: memperkuat akuntabilitas, tetapi juga menciptakan polarisasi politik.
Analisis Politik dari GMNI
1. Friksi internal elite: Konflik ini bisa jadi mencerminkan adanya ketegangan yang lebih dalam antara kubu Bupati dan Wakil Bupati — mungkin karena perbedaan visi, kepentingan proyek, atau distribusi kekuasaan.
2. Peran masyarakat sipil: Organisasi pemuda seperti BPBS dan mahasiswa GMNI mengambil peran pengawas dan kontrol sosial. Ini menunjukkan bahwa di Busel saat ini, rakyat dan kaum muda siap untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas.
3. Risiko stabilitas demokrasi lokal: Jika konflik tak dikelola dengan baik, bisa melemahkan institut demokrasi lokal. Namun, jika diselesaikan melalui dialog dan hukum, ini bisa menjadi contoh positif bahwa demokrasi lokal bisa mempergunakan mekanisme checks & balances.
Kesimpulan dan Seruan GMNI
1. Bupati dan Wakil Bupati Buton Selatan perlu menanggapi laporan saling serang ini dengan serius, tetapi juga dewasa dengan membuka ruang dialog.
2. GMNI dan kelompok pemuda lainnya bisa menjadi mediator moral: menekan agar konflik tidak melebar dan agar tanggung jawab pemerintah tetap pada pembangunan, bukan drama politik.
3. Penegak hukum (Kejari) harus memeriksa laporan-laporan dengan transparan dan adil, tanpa pandang bulu, agar kepercayaan publik tidak semakin terkikis.
4. Masyarakat umum harus diajak terlibat dalam pemantauan anggaran dan kebijakan supaya konflik semacam ini tidak melemahkan pelayanan dasar dan aspirasi pembangunan.***
Penulis: Redaksi/Editor: Bung Wadhaar.