Marhaenist.id – Ketertiban atau Ketakutan?
Di negeri ini, kita tidak butuh kudeta untuk kembali ke zaman kekuasaan absolut. Cukup digandengkan dengan kata “stabilitas nasional”, “persatuan”, dan “nasionalisme”, maka kita rela menyerahkan akal sehat, hak kritik, dan kebebasan berpikir.
Begitulah cara Leviathan—makhluk politik buatan Thomas Hobbes—hidup kembali dalam diri kekuasaan yang dipoles demokrasi tapi bersenjata retorika militer.
Prabowo Subianto presiden terpilih adalah perwujudan dari ini: ia belum menjadi tiran dalam pengertian klasik, tapi penjaga keteraturan dengan simbol-simbol loreng dan logika ala barak –retret.
Berpikir Dicurigai
René Descartes pernah berkata, “Saya berpikir, maka saya ada.” Tapi hari ini, jika Anda berpikir terlalu keras—apalagi mempertanyakan kekuasaan—Anda bisa dianggap sebagai subversif. Demokrasi kita telah kehilangan methodic doubt, keraguan sehat yang diperlukan agar kekuasaan tak tumbuh liar.
Ketika kritik dilemahkan, ketika oposisi difitnah, dan ketika rakyat lebih senang menonton TikTok daripada memahami rancangan undang-undang, maka demokrasi tidak dibunuh—ia bunuh diri.
Leviathan yang Kita Undang Sendiri
Thomas Hobbes percaya bahwa manusia secara alami penuh hasrat dan cenderung saling memangsa. Maka satu-satunya jalan damai adalah menyerahkan kebebasan kepada kekuasaan mutlak — sang Leviathan.
Hari ini, kita melakukannya tanpa sadar:
Menyambut pemimpin militer dengan suara mayoritas.
Membenarkan pembatasan kebebasan atas nama ketertiban.
Menganggap demokrasi terlalu ribut dan “butuh pemimpin tegas”.
Kita tidak dipaksa tunduk. Kita memilih tunduk, karena takut akan “kekacauan” yang terus-menerus dijual media elite.
Saat Akal Jadi Alat Penindasan
Horkheimer, filsuf Mazhab Frankfurt, mengingatkan bahwa akal bisa menjadi alat penindasan bila dilepaskan dari nilai-nilai emansipatoris.
Akal modern, kata dia, telah berubah menjadi akal instrumental—yang hanya bertanya “bagaimana cara menang?” bukan “apakah ini adil?”
Inilah yang terjadi hari ini.
Logika kekuasaan militer kembali naik daun bukan karena rasional secara moral, tapi karena efisien secara kekuasaan. Kritik dianggap gangguan. Minoritas dianggap beban. Oposisi dilabel radikal.
Maka demokrasi hari ini adalah demokrasi teknokratis—yang berbicara seperti Excel, bertindak seperti mesin, dan menekan seperti senjata.
Demokrasi yang Tak Mau Berpikir
Jika Hobbes mengajarkan bahwa kita butuh kekuasaan untuk menjaga kita dari kekacauan, dan Descartes mengajarkan kita berpikir untuk memastikan kebenaran, maka Horkheimer mengingatkan:
_Jika berpikir hanya untuk memperkuat kekuasaan, maka kita telah kehilangan jiwa._
Dan itulah yang sedang kita saksikan: Leviathan yang tersenyum, didukung oleh rakyat, tapi mengurung semua bentuk keberanian intelektual.
Kini pertanyaannya bukan lagi:
“Siapa yang akan memimpin kita?”
Tapi: “Apakah kita masih berpikir bebas di bawah kekuasaan yang mengaku menjaga kita?”
Penulis: Firman Tendry Masengi, Alumni GMNI.