Marhaenist – Sejumlah data terbaru menunjukkan perekonomian domestik sedang tidak berada dalam kondisi terbaik. Aktivitas manufaktur RI yang pertama kali terkontraksi sejak pandemi akibat lemahnya permintaan pasar, ditambah terjadinya deflasi dalam tiga bulan beruntun, menuai banyak pertanyaan.
Adakah perekonomian Indonesia tengah memasuki periode kemunduran dengan kembali ke situasi ketika pandemi Covid-19 masih merajalela di kisaran tahun 2020-2021 lalu?
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam taklimat media hari ini, selaku Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) menyatakan, perekonomian RI sejauh ini masih bertahan dengan capaian yang baik pada kuartal 1-2024 dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) 5,11%.
Pada kuartal II-2024, Bendahara Negara itu memperkirakan PDB masih akan mampu tumbuh di kisaran 5%, melambat dibanding capaian kuartal sebelumnya. Konsumsi rumah tangga masih menjadi pendorong utama ditambah mulai naiknya investasi.
“Ke depan, kami melihat peningkatan aktivitas perekonomian domestik masih akan berlanjut hingga akhir 2024 di mana itu perlu dijaga, dari sisi kebijakan fiskal terutama dari sisi belanja pemerintah akan terus difokuskan untuk menjaga stabilitas harga. Kami juga akan terus jalankan program perlindungan sosial terutama bagi masyarakat yang rentan sehingga daya beli dan konsumsi masyarakat terjaga,” kata Sri Mulyani pada Jumat pagi.
Dengan optimisme itu, pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan tumbuh di kisaran 5%-5,2%.
Prediksi pertumbuhan itu lebih optimistis dibanding proyeksi para ekonom yang dikompilasi oleh Bloomberg. Sebanyak 33 ekonom yang disurvei dari 18-25 Juli, memperkirakan, ekonomi RI tahun ini akan tumbuh 5%, lebih kecil dibanding capaian 2023 sebesar 5,04%.
Sementara pertumbuhan ekonomi kuartal II-2024 diperkirakan sebesar 3,78% quarter-to-quarter. Sementara secara tahunan para ekonomi memperkirakan angka pertumbuhan 5%, lebih tinggi dibanding prediksi survei sebelumnya 4,97%.
“Stimulus terkait Pemilu dan insentif [bansos] yang diperpanjang untuk rumah tangga, juga investasi infrastruktur yang lebih tinggi akan memberikan dorongan dari sisi fiskal, sedangkan kebijakan moneter yang lebih longgar di akhir tahun bisa membantu mengimbangi kondisi eksternal yang menantang dari kelesuan permintaan global dan normalisasi harga komoditas,” komentar Ahmad Mobeen, Ekonom Senior S&P Global dilansir dari Bloomberg.
‘Vibecession’ Menguat
Hitungan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang optimistis itu seolah tidak sejalan dengan yang dirasakan masyarakat. Fenomena ‘vibecession‘ kembali menguat terutama dengan semakin banyaknya kejadian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor.
‘Vibecession‘, sebuah istilah yang pertama muncul pada 2022, menunjuk pada keterputusan antara perekonomian suatu negara dengan persepsi masyarakat yang cenderung negatif dan sebagian besar pesimistis.
Persepsi terhadap kondisi ekonomi yang dirasakan lebih suram itu sebenarnya sudah terpotret dalam Survei Konsumen terakhir.
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini pada Juni turun ke level terendah sejak Februari. Indeks ini mengukur persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dibandingkan enam bulan sebelumnya. Kelompok masyarakat ekonomi bawah mencatat penurunan persepsi terdalam akibat susahnya mencari pekerjaan sekarang ini.
Sementara kelompok menengah, bila melihat proporsi pengeluaran, terlihat mengalami penurunan angka tabungan sedang pada saat yang sama pengeluaran untuk utang turun dan alokasi konsumsi meningkat.
Penilaian atas kondisi ekonomi yang dinilai lebih buruk saat ini akibat sempitnya lapangan kerja, mempengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap kondisi ekonomi ke depan yang juga menurun terendah dalam tiga bulan. Penurunan itu juga karena kian tipisnya keyakinan masyarakat terhadap kondisi penghasilan.
Berikut ini beberapa indikator terbaru yang mungkin menjadi alasan kian menguatnya ‘vibecession’ di tengah masyarakat saat ini:
Aktivitas Manufaktur Turun
Untuk pertama kalinya sejak pandemi, aktivitas manufaktur Indonesia mengalami kontraksi. Laporan S&P Global mencatat, PMI manufaktur RI pada Juli turun ke level 49,3 dari tadinya di 50,7 pada bulan Juni.
Para pelaku usaha (produsen) melaporkan kelesuan permintaan dari pasar domestik juga dari pasar ekspor. Output dan pesanan baru dari dalam negeri menurun, sementara pesanan baru dari pasar ekspor terbebani oleh gangguan pasokan pada jalur pelayaran global.
Para panelis melaporkan, permintaan pasar di Indonesia saat ini sedang lesu dan menjadi faktor utama yang mendorong penurunan penjualan untuk pertama kalinya dalam setahun terakhir.
Penjualan ekspor baru juga menurun meski pada tingkat lebih rendah dan sebagian adalah imbas dari keterlambatan pengiriman akibat masalah pada rute pelayaran global.
PHK Merajalela
Penurunan aktivitas manufaktur pada akhirnya memicu lonjakan angka PHK yang memecah rekor sepanjang tahun ini. Mengacu data Kementerian Tenaga Kerja, selama semester 1-2024 atau Januari-Juni, terjadi PHK sebanyak 32.064 orang, naik tajam hingga 95,51% dibanding periode yang sama tahun lalu.
PHK yang merajalela dilatarbelakangi oleh langkah efisiensi perusahaan yang tertekan penurunan penjualan akibat permintaan yang turun. “Jumlah karyawan dikurangi dengan penurunan yang paling tajam selama hampir tiga tahun. Ada banyak laporan tentang tidak diperpanjangnya kontrak karyawan yang sudah habis masa berlakunya,” jelas S&P Global.
Laju PHK mencatat kenaikan tanpa henti sepanjang lima bulan pertama tahun ini. Bila menghitung laju PHK bulanan, hanya pada Juni jumlah pekerja yang terkena PHK turun jadi 4.842 orang. Lebih sedikit dibanding Mei ketika sebanyak 8.393 orang kehilangan pekerjaan.
Bila tren penurunan PHK pada Juni itu berlanjut, maka ada harapan badai PHK tahun ini tidak akan sebesar 2023. Namun, bila penurunan PHK bulan Juni lalu hanya tren sesaat, sangat mungkin jumlah pekerja yang terpaksa jadi pengangguran pada tahun ini bakal melampaui tahun 2023. Padahal total jumlah PHK tahun lalu sudah menjadi yang terbesar sejak 2021.
Lapangan Kerja Sempit
Mengacu pada data Survei Angkatan Kerja Nasional pada Februari 2024, total pekerja di Indonesia yang berkiprah di lapangan kerja formal mencapai 58,05 juta pekerja. Angka itu hanya naik 2,77 juta dalam lima tahun terakhir.
Penambahan lapangan kerja formal terbilang seret karena pada lima tahun sebelumnya, penciptaan lapangan kerja mencatat angka jauh lebih besar yaitu 7,78 juta. Faktor pandemi Covid-19 yang telah membuat banyak usaha dan pabrikan gulung tikar, berdampak besar pada seretnya ketersediaan lapangan kerja dalam lima tahun ini.
Namun, sebenarnya penurunan ketersediaan lapangan kerja sudah terjadi sejak sebelum pagebluk. Buktinya, pada periode 2009-2014, periode terakhir era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lapangan kerja baru yang tercipta mencapai 15,62 juta pekerjaan.
Deflasi 3 Bulan Beruntun
Deflasi atau penurunan harga barang dan jasa selama tiga bulan beruntun terakhir terjadi pada 2020 silam saat perekonomian RI tiarap akibat pagebluk. Deflasi pada Juli lalu sebesar 0,18% juga menjadi yang terdalam sejak Agustus 2022 ketika Indonesia membukukan deflasi 0,22%.
Sebanyak 32 provinsi mengalami deflasi pada Juli sedangkan enam provinsi masih mencatat inflasi bulan lalu. Deflasi paling dalam di Indonesia pada Juli terjadi di Sumatra barat, mencapai -1,07%.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, penyumbang deflasi terbesar secara bulanan adalah kelompok makanan, minuman, dan tembakau dengan deflasi 0,97% dan memberi andil deflasi 0,28%.
Deflasi juga terutama disumbang oleh komponen harga bergejolak yang mencatat deflasi sebesar 1,92% dan memiliki andil deflasi 0,32%.
Secara sederhana, deflasi merupakan kondisi ketika terjadi penurunan harga-harga barang dan jasa secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Penurunan harga bisa karena melemahnya permintaan dari konsumen. Bisa juga karena suplai yang lebih besar.
Deflasi yang terjadi terus menerus dengan cukup tajam bisa menjadi salah satu sinyal bahaya sebuah perekonomian. Ketika tingkat permintaan terus melemah, pabrikan atau pemilik usaha menghadapi penurunan penjualan yang bisa memicu kerugian dan mendorong efisiensi lebih besar, seperti pemangkasan tenaga kerja untuk menghemat beban produksi.
Tidak mengherankan bila deflasi seringkali dikaitkan dengan resesi karena sering terjadi ketika perekonomian kurang darah, alias lesu.
Penjualan Ritel Seret
Hasil Survei Penjualan Ritel Juni yang dilansir oleh Bank Indonesia bulan lalu, mencatat, Indeks Penjualan Riil pada Mei lalu naik 2,1% year-on-year, setelah pada April terkontraksi -2,7%. Angka pertumbuhan penjualan riil Mei itu lebih kecil dibanding prediksi sebelumnya sebesar 4,7%.
Sementara secara bulanan, penjualan ritel pada Mei turun 3,5% month-to-month setelah bulan sebelumnya hanya naik 0,4% pada bulan Lebaran. Penurunan penjualan ritel pada Mei tidak mengejutkan mengingat puncak belanja masyarakat pada Lebaran sudah berakhir.
Namun, perlu dicermati angka penurunan bulanan tersebut ternyata lebih dalam ketimbang prediksi awal yang memperkirakan hanya kontraksi 1%.
Bank Indonesia memperkirakan secara keseluruhan kuartal II-2024, kinerja penjualan ritel melambat dengan capaian pertumbuhan hanya 1,3% setelah pada kuartal pertama tahun ini naik 5,6% karena sumbangan belanja Ramadan.
Para peritel terindikasi akan menurunkan harga lagi untuk mendorong penjualan. Langkah itu membuat ekspektasi harga ke depan jadi ikut turun. Survei memperkirakan, tekanan inflasi tiga bulan ke depan yaitu pada Agustus, turun. “Penurunan didorong oleh strategi potongan harga pada event HUT Kemerdekaan,” jelas BI.
Penjualan Mobil Masih Lesu
Total penjualan mobil di tingkat ritel atau dari dealer ke end user (pengguna), sepanjang semester 1-2024, turun 14% year-on-year menjadi sebanyak 431.987 unit. Bahkan pada Juni saja, penjualan mobil di tingkat ritel anjlok 12,3% dibanding Juni 2023, menurut data Gaikindo.
Sementara itu, penjualan sepeda motor pada Juni lalu tercatat sebanyak 511.098 untuk pasar domestik. Angka itu naik 3,5% dibandingkan Juni 2023. Sedangkan ke pasar ekspor, penjualan menurun 14%.
Penurunan pembelian mobil sejalan dengan penurunan indeks pembelian durable goods atau barang nonprimer. Survei Konsumen Juni mencatat, indeks turun ke level terendah sejak Februari terutama dicatat oleh kelompok bawah, menengah bawah dan kelompok atas. Sedangkan indeks durable goods kelompok dengan pengeluaran menengah masih positif pada Juni lalu.