Marhaenist.id – Mengutip dari halaman website resmi Mahkamah Konstitusi Indonesia menjelaskan bahwa supremasi hukum merupakan upaya menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi. Dengan menempatkan hukum sesuai tempatnya, hukum dapat melindungi seluruh warga masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun, termasuk oleh penyelenggara negara. Oleh karena itu, supremasi hukum tidak sekedar ditandai tersedianya aturan hukum yang ditetapkan, melainkan harus diiringi kemampuan menegakkan kaidah hukum.
Demikian perkataan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar dalam ceramah kuncinya pada acara Seminar Nasional untuk menyambut hari ulang tahun Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) yang ke-47 bertemakan “Supremasi Hukum untuk Kemakmuran”.
Upaya menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi sebagaimana di sampaikan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut sebenarnya telah di pikirkan sejak lama oleh berbagai para ahli hukum di Indonesia. Bahkan jika ditarik lebih jauh lagi dalam dimensi Filsafat Hukum sebenarnya penemuan, perdebatan, maupun kritik – otokritik terhadap setiap perspektif yang membicarakan hakikat hukum untuk kemudian bisa menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi sudah terjadi sejak lama.
Friedrich Karl von Savigny (1770-1861) dengan mazhab hukum sejarahnya misalkan, ia berpandangan bahwa hukum bukan perintah penguasa atau karena suatu kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa (volksgeist) itulah menjadi hakikat terhadap hukum sendiri. Lalu Jeremy Bentham (1748-1832) dengan mazhab utilitarianisme. Baginya hukum itu di buat, di buat untuk mensejahterakan individual sebanyak mungkin dalam Masyarakat. Itulah hakikat hukum sebenarnya menurut Jeremy Benhtam (1748-1832).
Sebenarnya masih banyak lagi dalam dimensi Filsafat hukum suatu penemuan, perdebatan, maupun kritik – otokritik terhadap setiap perspektif yang membicarakan hakikat ilmu hukum untuk kemudian bisa menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi. John Austin dengan mazhab positivisme sosiologis, Hans Kelsen dengan mazhab positivisme yuridis, mazhab realisme hukum dengan para tokoh-tokohnya, mazhab realisme skandinavia dengan para tokoh-tokohnya, dan lain sebagainya.
Kendati demikian pada era itu terjadinya kritik-otokritik terhadap setiap perspektif dalam melihat hakikat hukum, pada intinya para tokoh-tokoh tersebut memiliki tujuan yang sama, yakni ingin menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi.
Berbeda hal pada era sekarang, alih-alih ingin menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi, mempertahankan marwah hukum saja sangatlah susah. Kepentingan individu maupun kepentingan segelintir kelompok menjadikan hukum sebagai senjata baru bagi Masyarakat. Putusan Makamah Konstitusi misalkan. Penambahan diksi dalam persyaratan mencalonan diri sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden yang sekiranya jika di gunakan pendekatan teori Critical Legal Studi (Gerakan Hukum Kritis) sangatlah mengandung unsur politik praktis di dalamnya.
Baru-baru ini lagi misalkan, berita yang cukup mencengangkan dan sedang hangat – hangatnya tentang Arief Rahman Hidayat sebagai Hakim Anggota Mahkamah Konstitusi disidang etik karena jadi Ketua Umum Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.
Mengutip dari website resmi CNN Indonesia. Pelapor atas nama Harjo Winoto dan kawan-kawannya mempermasalahkan status Arief sebagai Ketua Umum Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI). Harjo pun mengaitkan posisi itu dengan afiliasi politik Arief sehingga melaporkannya ke MKMK. “Kami juga melaporkan Arief Hidayat atas dasar, satu, fakta pertama bahwa dia merupakan ketua PA GMNI, underbow partai politik,” kata Harjo saat ditemui usai sidang di Gedung MK, Jakarta, Jumat (15/3). Para pelapor khawatir status Arief itu akan mengganggu netralitas MK. Terlebih lagi, MK akan menggelar sidang sengketa Pilpres 2024 dalam waktu dekat.
Pertanyaan yang paling mendasar sekarang adalah mengapa laporan tersebut diajukan ketika konstelasi politik di Indonesia sedang memanas? Mengapa tidak diajukan laporan tersebut pada tahun 2022 sehingga dapat menghindari konflik kepentingan jauh-jauh hari? Bukankah hal-hal seperti ini jika kita gunakan pendekatan teori Critical Legal Studi (Gerakan Hukum Kritis) sangatlah mengandung unsur politik praktis di dalamnya dan akan berakibat pada marwah hukum di Indonesia tidak memiliki marwah sama sekali.
Dilematis, sebab dilain sisi bahwa prinsip equality be fore the law juga wajib dijalankan, menginggat dalam prinsip tersebut menjelaskan bahwa setiap orang sama di mata hukum dan setiap orang memiliki hak yang sama dalam mengakses hukum itu.
Pada posisi lain hal-hal demikian bilamana dibiarkan begitu saja marwah hukum akan tergerus terus-menerus. Hukum yang seharusnya untuk mensejahterakan individual sebanyak mungkin dalam masyarakat justru menjadi senjata baru dalam masyarakat, menjadi instrument politik praktis bagi segelintir orang.
Satu-satunya jalan untuk menahan hal-hal demikian maka gunakan juga hukum sebagai instrumen untuk memusnahkan-membumi hanguskan – serta hancur leburkan para oknum yang menjadikan hukum sebagai senjata baru dalam Masyarakat atau menjadikan hukum sebagai instrument politik praktis bagi segelintir orang.***
Penulis: Delian Adlofeno, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Airlangga dan merupakan salah seorang anggota GMNI Kota Mataram.