Marhaenist.id, Jakarta – Pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) oleh DPR RI dalam rapat paripurna hari ini memicu kritik tajam dari berbagai kalangan. Sejumlah pakar hukum, aktivis, hingga organisasi masyarakat sipil menilai keputusan tersebut sebagai langkah mundur demokrasi, karena menghidupkan kembali pasal-pasal bermasalah yang berpotensi membungkam kritik dan mempersempit kebebasan sipil.
Banyak pihak menilai bahwa DPR dan pemerintah telah memaksakan pengesahan meski penolakan publik telah disuarakan sejak beberapa tahun lalu. Keputusan paripurna dinilai tidak mencerminkan semangat transparansi dan partisipasi publik yang seharusnya menjadi fondasi pembuatan undang-undang.
Disebut “Reformasi Semu” yang Justru Membungkam Warga
Alih-alih memperbaiki sistem hukum pidana, KUHAP baru justru dianggap sebagian ahli sebagai “reformasi semu”. Revisi besar-besaran yang diklaim sebagai dekolonisasi hukum dinilai tidak menyentuh persoalan fundamental, bahkan menghadirkan ancaman baru terhadap kebebasan masyarakat.
Sejumlah pengamat menilai, pasal-pasal tertentu justru memberi legitimasi bagi aparat penegak hukum untuk menjerat kritik publik, aktivis, jurnalis, serta kelompok oposisi politik. Kekhawatiran itu muncul karena beberapa ketentuan dianggap bersifat karet dan rawan disalahgunakan.
Pasal Karet Disorot: Kritik Pemerintah Terancam Dipidana
Salah satu sorotan utama adalah pasal terkait penghinaan terhadap presiden, pejabat, dan lembaga negara. Meski pemerintah mengklaim pasal tersebut bersifat delik aduan, berbagai kelompok menilai ketentuan itu tetap membuka ruang kriminalisasi terhadap suara kritis.
Dalam sejumlah diskusi akademik, para pakar hukum menegaskan bahwa pasal penghinaan pejabat negara sudah lama dihapuskan karena bertentangan dengan nilai demokrasi. Menghidupkannya kembali dinilai sebagai kemunduran serius.
Ranah Privat Warga Masih Diatur Secara Ketat
Pasal-pasal mengenai zina, kohabitasi, dan kesusilaan juga menuai kritik tajam. Pemerintah berdalih bahwa delik tersebut hanya dapat diproses melalui aduan keluarga inti. Namun bagi sejumlah kelompok hak asasi, ketentuan tersebut memperkuat kontrol negara terhadap ruang privat masyarakat dan berpotensi memperparah stigma sosial terhadap kelompok rentan.
Selain itu, pasal tentang unjuk rasa tanpa pemberitahuan dinilai dapat mengkriminalisasi demonstrasi damai, di mana kebebasan berkumpul merupakan hak konstitusional. Beberapa lembaga menyebut bahwa KUHAP baru berpotensi menjadi alat represi jika tidak diawasi secara ketat.
Minim Transparansi: Publik Merasa Disingkirkan
Proses menuju pengesahan RUU KUHAP juga menjadi sorotan. Meski pemerintah mengklaim telah melakukan sosialisasi di ratusan titik, banyak organisasi masyarakat sipil menilai kegiatan tersebut tidak melibatkan publik dalam proses perumusan, melainkan sekadar penjelasan satu arah.
Kritik juga diarahkan pada tidak diberikannya waktu yang cukup bagi publik untuk menelaah draf akhir. Sejumlah peneliti hukum menyebut bahwa transparansi hanya menjadi slogan tanpa implementasi yang nyata.
Kekhawatiran Akan Kembalinya Era Pembungkaman
Para aktivis mengingatkan bahwa pasal-pasal karet seperti penghinaan terhadap penguasa pernah digunakan di masa lalu untuk menangkapi mereka yang kritis terhadap pemerintah. Dengan KUHAP baru yang menguatkan kembali ketentuan serupa, sebagian pihak melihat ini sebagai alarm bahaya bagi kebebasan berekspresi.
Beberapa analis politik menyebut bahwa pengesahan RUU KUHAP ini mempertebal kekhawatiran akan terjadinya “relegalisasi pembungkaman,” terutama di tengah meningkatnya penggunaan pasal karet dalam berbagai kasus.
Seruan Revisi dan Uji Materi Menguat
Sejumlah lembaga bantuan hukum dan organisasi HAM sudah menyiapkan langkah untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menilai bahwa beberapa pasal secara nyata bertentangan dengan konstitusi dan prinsip hak asasi manusia.
Para pengamat juga menyerukan agar pemerintah membuka ruang revisi secepat mungkin, bukan menunggu implikasi buruk muncul setelah implementasi.***
Penulis: Bung Wadhaar/Editor: Bung Wadhaar.