MARHAENIST – Siapapun pasti tak suka dengan orang yang suka menjilat pada orang yang punya pengaruh atau kedudukan. Terlebih bila orang tersebut berada di lingkaran kehidupan sehari-hari. Begitu pula si penjilat itu sendiri, tak akan suka terhadap temannya yang juga ikut-ikutan menjilat. Kecuali, para penjilat itu punya satu misi atau suatu persamaan, justru yang terjadi saling dukung satu sama lain agar sukses menjilat bersama.
Naasnya, orang yang posisinya lebih tinggi malah lebih menyukai bawahan yang mahir menjilat. Yakni, yang pandai mengolah kata, perilaku, dan mimik muka. Ditambahi gemar memuji atasan. Lalu sering menunjukkan prestasinya di hadapan juragannya. Serta agar posisinya terangkat tak merasa terbebani untuk menginjak-injak harga diri teman di mata bosnya. Semua itu ia lakukan agar majikannya lebih suka padanya daripada anak buah yang lain.
Untuk mendapat perhatian petinggi, si penjilat tak jarang akan memanipulasi data. Tentu data terkait dengan hasil kinerjanya diolah atau diatur sedemikian rupa sehingga seakan-akan itu adalah sebuah prestasi. Padahal itu sangat jauh panggang dari api. Apa yang ia tunjukkan hanya sekadar di atas kertas. Namun, kenyataan di lapangan ia tak memiliki kelebihan yang patut dibanggakan.
Si Dijilat Pantat adalah julukan yang diberikan Mas Marco Kartodikromo terhadap seorang asisten wedana (sekarang setara camat) di daerah yang “ngathok” atau lebih suka menjilat kepala atasannya demi mempertahankan posisi atau kedudukannya, syukur bisa naik pangkat. Istilah Si Dijilat Pantat dimuat dalam artikel majalah Doenia Bergerak No. 2, 4 April 1914.
Perilaku penjilat itu banyak dilakukan oleh golongan priyayi yang bekerja sebagai ambtenaar atau pegawai pemerintah dalam terminologi kekinian disebut aparatur sipil negara (ASN). Eufemisme Si Dijilat Pantat yang diujarkan dalam Bahasa Melayu Pasar tempo dulu itu sekarang dikenal sebagai ABS (Asal Bapak Senang).
Perilaku penjilat banyak dilakukan oleh para pegawai Binnelands Bestuur (BB) yang dipimpin oleh pejabat orang Belanda, mulai dari gubernur jenderal, gubernur, residen, asisten residen, burgermeester (walikota) hingga kontrolir. Perilaku penjilat itu banyak dilakukan oleh bawahan kepada atasan baik yang dilakukan oleh pegawai keturunan Eropa maupun pegawai Bumiputera.
Di bawah kontrolir ada struktur pemerintahan yang diisi oleh pejabat-pejabat Bumiputera mulai dari bupati, wedana, asisten wedana dan para kepala desa dan bawahannya. Pemerintahan yang diselenggarakan oleh kaum Bumiputera disebut Indlandsce Bestuur. Perilaku penjilat para pejabat Bumiputera tu secara satire oleh Multatuli dalam novel Max Havelaar.
Perilaku penjilat para pejabat itu seolah-olah menjadi penyakit genetis yang melanda para pejabat. Setelah lebih dari 110 tahun istilah Si Dijilat Pantat dikemukakan oleh Mas Marco Kartodikromo, ternyata perilaku seperti itu kian menjadi-jadi. Sekelas menteri tidak malu-malu menjadi tukang cebok bahkan tidak sungkan menjilati kotoran di pantat keluarga Mulyono hingga bersih.
Kalau buzzer dan influencer jangan ditanya karena mereka dibayar untuk itu. Setelah 20 Oktober 2024 mungkin mereka sibuk mencari juragan baru untuk dijilati pantatnya. Rimming itu aktivitas seksual yang menjijikan karena harus menjilati lubang pantat, walaupun secara virtual tetap saja perilaku maha jorok, dari sisi apapun!
Oleh : R.B. Soloensis