Marhaenist.id – Awal hingga pertengahan tahun 2024, Indonesia dihadapkan dengan banyak persoalan konflik politik yang menimbulkan protes yang tak wajar. Dari pelanggengan otoritas kekuasaan secara sepihak dengan merubah skema produk hukum demi meloloskan Gibran Rakabuming Raka (Calon Wakil Presiden) melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) maupun putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai perluasan tafsir mengeai penentuan persyaratan untuk menjadi Kepala Daerah (minimal 30 tahun saat dilantik sebagai Kepala Daerah, bukan pendaftaran), yang diindikasikan kepada Kaesang Pangarep dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 secara serentak, yang keduanya putra Jokowi merupakan ironi matinya demokrasi.
Ditambah dengan viralnya kalimat “All Eyes on Papua” di sosial media, terkhusus pengamatan penulis yang tersebar di Instastory menelisik lebih jauh penelusuran penulis. Kemudian penulis cek pada pemberitaan di media massa, ada aksi demo yang dilakukan oleh masyarakat lokalitas papua untuk menyuarakan pembelaannya atas situasi dan kondisi yang ada di papua. Ia berharap datang ke Jakarta untuk mengikuti persidangan di MA pada Senin (27/5/2024) untuk menyelamatkan hak mereka yang dirasa telah diambil.
Tentu bagi penulis menduga ada pertentangan dinamika konflik antara masyarakat lokalitas adat dengan korporasi kapital. Ditambah dengan Presiden dalam agenda kenegaraannya menggunakan baju adat, namun belum nampak bersuara mengenai penyelesaian konflik adat dengan korporasi. Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar penulis, ada apa dengan rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang masa akhir jabatannya?
Bulan Juni, yang seharusnya dirayakan dengan agenda Bulan Bung Karno melalui wejangan revolusi untuk membangun bangsa Indonesia lebih baik, malah disajikan dengan bertambahnya daftar konflik era Presiden Jokowi. Viralnya kalimat All Eyes on Papua (semua mata tertuju pada Papua) merupakan protes terhadap warga lokalitas adat Papua, untuk bertahan hidupnya di hutan adat, bakal diambil oleh PT. Indo Asiana Lestari. Hutan adat tersebut dikabarkan akan dibabat habis dan dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit yang seluasnya seperti kota Jakarta, di hutan Boven Digoel, Provinsi Papua Pegunungan.
Jika proyek tersebut terlaksana, konsekuensinya adanya dapat mengancam bagi warga lokalitas adat Papua, terkhusus Suku Awyu dan Woro yang berjumlah ratusan. Karena bagi mereka, bahwa hutan adat merupakan sumber penghidupan bagi mereka akan hilang dan terancam. Bahkan, tak sedikit warganet menyuarakan hutan adat Papua akan dibabat habis untuk perkebunan sawit. Konon kabarnya ada 7 perusahaan yang bakal beroperasi melalui Proyek Tanah Merah.
Berdasarkan penelusuran penulis di media, dikabarkan pemerintahan provinsi setempat memberikan izin atas lingkungan hidup untuk PT. Indo Asiana Lestari (IAL), dengan mengantongi izin seluas 36.094 hektar di hutan adat suku. Namun perizinan tersebut ditolak secara tegas oleh suku Awyu dan Woro, dan kemudian digugat oleh Hendrikus Woro di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, pada Kamis (28/10/23), dan putusan tersebut memenangkan pihak korporasi. Kemudian berlanjut ke Mahkamah Agung (MA), kasasi merupakan harapan terakhir dalam menyelamatkan hutan adat. Ia berharap MA mencabut izin lingkungan PT. Indo Asiana Lestari.
Kontradiksi Ideologi dalam Lingkungan Hidup Rezim Presiden Jokowi: Tantangan Eco-Marhaenisme
Soal deforestasi selama Presiden Joko Widodo mengerikan sepanjang 10 tahun terakhir menjabat. Hal ini diungkapkan oleh eks Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, yang diwartakan oleh Kompas.com, menyebutkan angka deforestasi terjadi dikawasan hutan Indonesia mencapai 12,5 juta hektar, 2.500 tambang ilegal (tanpa Izin Usaha Pertambangan/IUP), lebih luas dari daratan Korea Selatan dan 23 kali luas pulau Madura. Tentu fenomena ini cukup menjadi perhatian penting keberpihakan bagi Pemerintah, khsusunya rezim dibawah Presiden Joko Widodo mengatasi krisis lingkungan.
Selain itu, fokus pada isu Papua, mengutip Jubi.id melalui keterangan dari Juru Kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Nicodemus Wamafma mengungkapkan bahwa selama Indonesia dipimpin oleh Presiden Joko Widodo sejak tahun 2014, melenyapkan keberadaan hutan alam Papua seluas 296.378 hektare yang diperuntukkan untuk berbagai kepentingan dalam Proyek Strategis Nasional Food Estate dan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan Trans Papua sepanjang 4,600 Km dari Sorong sampai Merauke. Secara spesifik, Greenpeace Indonesia mencatat 641.400 hektar hutan alam di Tanah Papua lenyap, yang tersebar di berbagai lokasi yakni Merauke, Boven Digoel, Nabire, Mimika, Mappi, Fakfak, Teluk Bintuni, Sorong, Manokwari, dan Kaimana. Tentu dalam konteks ideologi Pancasila, rezim pemerintahan Jokowi dipertanyakan dalam implementasi kebijakan yang ideologis, terutama dalam melaksanakan sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bukan segelintir oligarki kekuasaan yang menghantui aktivitas masyarakat.
Melihat realitas tersebut, mungkin bagi penulis, Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni telah berlalu, menjadi refleksi bagi kita sebagai rakyat Indonesia agar tidak terjadi adanya konflik berkepanjangan yang sedang terjadi di Papua, terkait dengan pengalihan hutan adat menjadi perkebunan sawit. Dengan kata lain, bahwa konflik yang merugikan hutan adat atas nama kepentingan negara untuk rakyat adalah distorsi dan pembodohan publik. Bahkan konflik warga lokal adat Papua dengan kepentingan korporasi tak hanya mengancam lingkungna, namun juga keberlajutan ekosistem Papua yang berdampak secara sosial dan budaya, hanya bergantung pada hutan adat tersebut.
Konflik hutan adat di Papua yang bermuara pada konvensi lahan ke perkebunan sawit, merupakan gambaranya nyata problem yang kompleks dalam mengawal isu lingkungan hidup yang dihadapi diseluruh dunia, seiring dengan ditunjukkankan realitas memburuknya pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan sumber daya alam. Menurut amat penulis, melindungi hutan adat serta mendukung adanya pertanian alternatif dan berkelanjutan adalah langkah dalam menjaga keseimbangan ekologi serta menghormati hak masyarakat adat. Hari Lingkungan Hidup Sedunia mengajarkan bahwa pentingnya menjaga keberlangsungan lingkungan alam demi kesejahteraan manusia dan ekosistem.
Jika bercermin pada Eco-Marhaenisme, kembangan teoritis yang dikonstruksikan oleh George Towar Ikbal Tawakkal, terbit di Inside Indonesia. Ia mencerminkan bahwa Sukarno sebagai pencetus Marhaenisme sebagai pemikiran politik dan ekonomi memberikan pondasi kuat untuk menempatkan alam sebagai kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena bagi Sukarno, menempatkan Indonesia sebagai pohon yang kuat, langit biru ayng terang, udara yang hangat.
Aktivitas Sukarno peduli terhadap lingkungan, saat ia menanam pohon di Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI di Berastagi, kemudian di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Istana Negara, Istana Tampaksiring. Selain itu, ia melibatkan dirinya dalam merancang hutan kota pada calon ibukota baru (yang awalnya digagas oleh Sukarno di Palangkaraya). Dalam konteks internasionalisasi peduli lingkungan, pada tahun 1955 Sukarno menanam pohon di padang Arafah yang tandus dan panas, di luar kota Mekkah. Bahkan di Meksiko, diberi nama Taman Sukarno dan tahun 2016 di Yordania, terdapat pohon perdamaian Sukarno.
Oleh karena itu, perlu adanya kerjasama antara Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (terkhusus masyarakat adat) dan sektor swasta, bekerjasama dalam menciptakan solusi bersama dalam menguntungkan semua pihak dan memastikan pengelolaan sumber daya alam dilakukan bertanggungjawab dan berkelanjutan. Bahkan, perlindungan hutan adat di papua dan seluruh Indonesia tak hanya lingkungan, melainkan masalah Hak Asasi Manusia (HAM), keadilan sosial, dan hukum yang menghadirkan solusi berkelanujutan semua pihak terlibat. Sehingga masyarakat adat menjaga warisan alam dan berkontribusi dalam pembangunan fisik maupun pembangunan manusia.***
Penulis: Hanum Salvadila, Mahasiswa Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya, Kader Angkatan 2023 DPK GMNI UINSA Gunung Anyar Surabaya.