Marhaenist.id – Malam itu api beringas, melalap Gedung Grahadi hingga menjilat atap dan meruntuhkan dinding. Asap hitam menutup langit Surabaya, sirene meraung-raung, dan orang-orang berdesakan di luar pagar bersejarah itu. Namun dari balik kepulan bara, sebuah pemandangan membuat bulu kuduk berdiri: lukisan Pakde Karwo, mantan Gubernur Jawa Timur, tegak berdiri tanpa sedikitpun tersentuh api.
Seorang relawan pemadam, yang tidak mau disebut namanya, mengaku melihat kilatan cahaya sebelum menemukan lukisan itu utuh.
“Saya masuk ruangan penuh asap, hampir semua hancur. Tapi ketika senter saya menyapu ke arah lukisan itu, seperti ada sinar kuning sebentar. Saya langsung merinding. Bagaimana mungkin kain kanvas tidak terbakar, padahal lemari besi saja meleleh?”
Fenomena ini mengundang tafsir para sesepuh dan penjaga tradisi dari penjuru Nusantara.
Ki Jatmiko (Juru Kunci Gunung Kelud, Jawa Timur)
“Lukisan itu tidak terbakar karena ada kekuatan gaib yang menolak. Dalam ilmu titen Jawa, api hanya melahap yang kotor. Jika sesuatu selamat, berarti ia membawa energi kesucian. Bisa jadi, ini tanda roh kepemimpinan beliau masih dibutuhkan Jawa Timur.”
Mbah Rono (Sesepuh Merapi, DIY)
“Ini bukan hal baru. Di Merapi, pusaka juga sering ditemukan utuh meski lumbung habis terbakar. Lukisan itu bisa dianggap ‘pembawa pesan’. Mungkin Jawa sedang memasuki masa gejolak, dan leluhur memberi tanda lewat benda yang selamat dari api.”
Haji Daeng Lawa (Tokoh adat Bugis, Sulawesi Selatan)
“Di tradisi Bugis ada kisah benda suci yang kebal api. Itu pertanda leluhur hadir menjaga tatanan. Kalau terjadi di Jawa pada lukisan seorang pemimpin, maka itu sinyal bahwa rakyat jangan melupakan kepemimpinan yang jujur.”
Ida Bagus Made (Pemangku Pura di Karangasem, Bali)
“Api adalah penyuci. Kalau lukisan itu tidak dimakan api, artinya ia sudah dianggap suci oleh semesta. Ini pertanda agar masyarakat kembali ke nilai ketulusan dan dharma.”
Dalam tradisi Sunda, ada pula kisah serupa. Prabu Siliwangi, raja agung Pajajaran, dipercaya “ngahiang” (menghilang) dengan tubuh yang tak tersentuh api atau tanah, melainkan kembali ke alam gaib.
Abah Dadan (Tokoh Budaya Sunda, Cigugur, Kuningan)
“Lukisan Pakde Karwo yang selamat dari api bisa disamakan dengan pitutur Prabu Siliwangi. Leluhur Sunda bilang: yang benar-benar ikhlas membangun rakyat akan dilindungi jagat. Api tidak bisa menghapus ketulusan.”
Tradisi Banten juga mengenal karomah ulama besar seperti Sultan Maulana Hasanuddin atau Syekh Nawawi al-Bantani.
Bu Nyai Rukayah (Sesepuh Banten, ahli ilmu hikmah)
“Dulu ada kisah para wali, mukena atau kitab mereka tidak bisa terbakar meski rumah hangus. Itu karomah. Jika lukisan seorang pemimpin utuh dari api, bisa jadi itu tanda semesta masih menaruh hormat pada sosoknya. Jangan dianggap main-main.”
Di tanah Minang, api juga punya makna khusus: pembersih dan penguji. Ada pepatah adat: “Nan sabana murni, indak kaabu dek api” (yang benar-benar murni, tak akan jadi abu karena api).
Datuk Rajo Basa (Tokoh adat Minangkabau, Padang Panjang)
“Kalau di Minang, benda atau orang yang lolos dari api dianggap ‘punyo tuah’. Lukisan itu mungkin punya tuah kepemimpinan. Bisa jadi ini isyarat bagi orang banyak: jangan lupakan pemimpin yang membangun dengan hati.”
Dalam Serat Jayabaya, tertulis bahwa pada masa gonjang-ganjing, akan ada tanda dari api: sesuatu yang tak terbakar, menjadi isyarat bahwa “roh penjaga tanah Jawa masih berjaga.” Kini, tafsir itu kian ramai dibicarakan, bahkan disandingkan dengan pitutur Sunda dan Minang.
Legenda Baru dari Abu Grahadi, apakah ini hanya fenomena fisika atau sebuah wahyu zaman? Yang jelas, di antara abu Grahadi, lahir sebuah legenda baru: lukisan seorang pemimpin rakyat yang menolak dimakan api. Dari Jawa hingga Sunda, Banten hingga Minang, tafsirnya sama: ada pesan leluhur yang sedang berbicara.***
Tulisan ini banyak tersebar di grup-grup WA GMNI.