Marhaenist.id – Di tengah arus disorientasi ideologis dan pragmatisme politik yang menjangkiti banyak organisasi kemahasiswaan, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) seharusnya tampil sebagai suluh ideologis yang konsisten. Namun, realitas yang kerap terjadi justru sebaliknya: GMNI, yang berakar kuat pada ajaran Marhaenisme Bung Karno, justru berkali-kali terjebak dalam pusaran konflik internal yang tidak produktif. Ironisnya, konflik tersebut kerap diklaim sebagai bagian dari proses machtsvorming atau pembentukan kekuatan. Tapi benarkah demikian?
Dalam konteks ajaran Bung Karno, machtsvorming bukanlah sekadar akumulasi kekuasaan melalui manuver politik. Ia adalah proses dialektis untuk membangun kekuatan rakyat secara sadar, terorganisir, dan ideologis dalam rangka mencapai machtsaanwending—penggunaan kekuasaan untuk menciptakan transformasi sosial. Namun dalam praktiknya, istilah ini justru kerap disalahpahami dan dijadikan pembenaran atas fragmentasi organisasi.
Machtsvorming: Proses Kolektif, Bukan Proyek Faksional dan Dipahami Secara Semu
GMNI sebagai organisasi ideologis seharusnya menjadikan machtsvorming sebagai kerangka kerja kolektif dalam membangun kekuatan revolusioner, bukan alat untuk memobilisasi loyalitas kelompok. Sayangnya, yang terjadi di lapangan adalah banalitas dari konsep tersebut. Banyak kader yang memaknai machtsvorming secara sempit, sekadar sebagai “penguasaan struktur” atau “kemenangan dalam kongres.” Akibatnya, orientasi politik kader lebih banyak tersedot pada manuver elite dan penguasaan birokrasi organisasi daripada memperkuat basis ideologis dan kultural gerakan.
Kegagapan memahami konsep ini berakar dari dua hal. Pertama, lemahnya pendidikan kaderisasi ideologis yang kontekstual dan mendalam. Kedua, membudayanya patronase dalam tubuh organisasi yang menjadikan konflik internal sebagai wahana survival politik antarfaksi. Ini melahirkan dua penyakit utama dalam tubuh gerakan: sektarianisme dan transaksionalisme. Padahal, Bung Karno sendiri telah mewanti-wanti bahaya perpecahan karena nafsu kekuasaan yang tidak dibarengi kesadaran ideologis.
Konsep machtsvorming dalam pemikiran politik Bung Karno tidak bisa dipisahkan dari semangat kolektivitas dan revolusi sosial. Ia bukan proyek individual atau kelompok untuk mendominasi, melainkan proses pengorganisasian massa yang terdidik dan sadar ideologi. Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan bahwa “kekuatan yang sejati itu terletak pada persatuan seluruh elemen rakyat.” Dengan kata lain, kekuatan tidak dibentuk oleh sekelompok elite, melainkan dari akar rumput yang terorganisir dalam satu orientasi perjuangan.
GMNI, sebagai anak ideologis Bung Karno, semestinya menjadikan hal ini sebagai kompas moral dan politik. Setiap kader yang berbicara tentang machtsvorming seharusnya bertanya: apakah langkah saya ini memperkuat kekuatan rakyat atau sekadar memperkuat kelompok saya sendiri? Apakah keputusan saya menyatukan atau justru memecah-belah organisasi?
Realitas yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa machtsvorming telah direduksi menjadi narasi pembenaran bagi konflik antarfaksi, baik dalam perebutan kepemimpinan nasional, pengelolaan cabang, hingga pembelahan dalam forum-forum resmi. Bukannya membentuk kekuatan yang mampu menekan ketimpangan sosial dan dominasi oligarki, GMNI justru sibuk dengan pertikaian internal yang memboroskan energi kader.
Ideologi Marhaenisme: Titik Temu, Machtsaanwending Sebagai Jalan Persatuan
Salah satu keunikan GMNI adalah pijakan ideologinya yang jelas: Marhaenisme. Namun, kejelasan ideologi ini tidak lantas menjamin kesatuan gerak jika tidak diiringi dengan pendalaman yang serius. Banyak kader GMNI yang berbicara tentang Marhaenisme, tapi tak mampu menjelaskan dengan presisi apa bedanya Marhaenisme dengan Sosialisme atau Nasionalisme biasa. Lebih parah, ada yang menjadikan Marhaenisme sebagai sekadar simbol—ditulis di spanduk, tapi tidak dipahami dalam praktik.
Marhaenisme bukan hanya ajaran ekonomi atau sosial, tetapi juga etika politik. Dalam kerangka itu, machtsvorming adalah proses untuk membebaskan rakyat Marhaen dari belenggu eksploitasi, bukan alat untuk merebut struktur demi struktur. Bila kader-kader GMNI menjadikan Marhaenisme sebagai basis ideologis, maka perbedaan pandangan seharusnya menjadi sumber dialektika, bukan sumber perpecahan.
GMNI seharusnya menjadi laboratorium ide dan aksi untuk mempertemukan perbedaan dalam satu semangat perjuangan, bukan menjadi arena saling jegal antar faksi. Perbedaan strategi seharusnya tetap berpijak pada satu fondasi ideologi yang sama, sehingga perdebatan yang muncul menjadi produktif dan mendewasakan organisasi, bukan destruktif.
Bung Karno memisahkan dengan tegas antara machtsvorming dan machtsaanwending. Yang pertama adalah proses pembentukan kekuatan, sedangkan yang kedua adalah penggunaannya dalam praktik. Jika machtsvorming tidak diarahkan pada tujuan strategis, maka ia hanya akan menjadi kekuatan kosong. Dalam konteks GMNI, kekuatan yang dibangun lewat pendidikan ideologis, pengorganisasian massa, dan kaderisasi progresif harus berujung pada machtsaanwending—yakni memperkuat posisi politik kaum Marhaen dan memperluas pengaruh ideologi dalam kehidupan berbangsa.
GMNI tidak boleh terjebak dalam logika kekuasaan demi kekuasaan. Menyatukan kekuatan adalah langkah strategis untuk menyongsong machtsaanwending yang revolusioner. Tanpa kesatuan, maka kekuatan yang dibentuk hanya akan menjadi medan tempur internal yang menggerogoti organisasi dari dalam. Ini yang harus disadari oleh setiap kader, dari tingkat komisariat hingga DPP.
Penutup: Menutup Luka, Membangun Ulang Gerakan
Sudah saatnya GMNI melakukan refleksi kolektif. Perlu ada kesadaran bahwa kekisruhan internal selama ini lebih banyak dipicu oleh kesalahan dalam memahami arah perjuangan. Jika machtsvorming terus dimaknai sebagai alat perebutan kekuasaan antarkelompok, maka GMNI tidak akan pernah menjadi kekuatan strategis dalam percaturan nasional.
Dibutuhkan keberanian intelektual dan kerendahan hati ideologis dari setiap kader untuk kembali ke khittah perjuangan. Bahwa GMNI didirikan bukan untuk menjadi organisasi kekuasaan, tapi organisasi perjuangan. Perjuangan itulah yang membutuhkan kekuatan. Dan kekuatan sejati hanya dapat terbentuk jika kita bersatu, bukan saling memecah.
Sebagaimana kata Bung Karno: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu bersatu dalam perbedaan, demi cita-cita yang sama.” Maka GMNI yang besar, bukanlah GMNI yang memiliki banyak kubu, tapi GMNI yang mampu menyatukan semua potensi dalam satu orientasi perjuangan: membebaskan kaum Marhaen.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyudutkan pihak mana pun, tetapi sebagai refleksi kolektif untuk memperbaiki arah perjuangan. GMNI terlalu besar untuk dipecah oleh ego faksional dan terlalu penting untuk dibiarkan tersesat dalam labirin kekuasaan internal. Sudah saatnya kembali ke ideologi, membangun kekuatan bersama, dan mengarahkan gerakan ini pada cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab.***
Penulis: Aji Cahyono, Kader GMNI.