Marhaenist.id – Demokrasi yang kita anut—“dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”—dalam praktiknya telah mengalami berbagai modifikasi. Sistem pemilu langsung, kebebasan berkumpul dan berpendapat, serta eksistensi partai politik merupakan infrastruktur utama demokrasi yang terus dikembangkan sejak reformasi. Setiap pemilu, selalu hadir partai-partai baru yang menunjukkan semangat partisipasi politik warga.
Namun, meski secara prosedural demokrasi Indonesia tampak berjalan, substansi dan etikanya justru terus digerus. Salah satu penyimpangan paling menonjol adalah maraknya demokrasi nepotik, di mana kekuasaan politik diwariskan melalui hubungan darah atau kekerabatan, bukan berdasarkan kompetensi dan integritas.
Fenomena ini makin gamblang terlihat dalam berbagai pilkada dan pemilu. Seseorang bisa dengan mudah dicalonkan menjadi kepala daerah atau anggota legislatif karena statusnya sebagai anak, istri, adik, atau kerabat pejabat sebelumnya. Pemilu pun menjelma menjadi seremoni belaka yang hanya melegitimasi dominasi klan politik yang itu-itu saja.
Dalam konteks ini, demokrasi tak ubahnya kendaraan untuk mempertahankan kekuasaan keluarga. Nepotisme tidak hanya melanggar prinsip meritokrasi, tetapi juga menumpulkan akuntabilitas pemimpin terhadap rakyat. Ketika loyalitas politik diarahkan kepada keluarga, bukan kepada konstituen, maka kebijakan publik rawan tersandera kepentingan pribadi atau kelompok kecil.
Yang lebih mengkhawatirkan, praktik ini kerap difasilitasi oleh partai politik itu sendiri. Alih-alih menjalankan fungsi rekrutmen kepemimpinan berbasis kompetensi, banyak partai justru menjadi kendaraan privat bagi segelintir elite. Tak heran jika kaderisasi macet, dan ruang partisipasi rakyat makin menyempit.
Di sinilah letak persoalannya: demokrasi kita terlalu fokus pada prosedur, tetapi abai pada substansi. Pemilu boleh bebas, partai boleh banyak, dan kebebasan berekspresi dijamin. Namun, jika hasil akhirnya hanya melanggengkan kekuasaan keluarga, maka demokrasi telah kehilangan jiwanya.
Krisis kepercayaan dan keadaban
Konsekuensi dari demokrasi nepotik adalah krisis kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Ketika rakyat merasa bahwa suara mereka tak membawa perubahan, maka apatisme politik tumbuh subur. Partisipasi politik jadi formalitas, bukan ekspresi kesadaran.
Dalam jangka panjang, kondisi ini melahirkan stagnasi kebijakan. Pemimpin yang muncul dari jaringan nepotisme cenderung tidak progresif, bahkan anti-inovasi, karena lebih sibuk menjaga harmoni dalam lingkaran kekuasaan. Ruang publik yang seharusnya menjadi arena gagasan, berubah menjadi panggung politik transaksional.
Yang lebih parah, praktik semacam ini memudarkan nilai keadaban dalam politik. Demokrasi bukan sekadar sistem, tetapi juga etika. Ketika prinsip kesetaraan dan kepantasan dikalahkan oleh loyalitas darah, maka yang lahir bukan pemimpin, melainkan pewaris tahta.
Membongkar siklus
Menghadapi kenyataan ini, langkah korektif harus dilakukan di berbagai tingkat. Pertama, reformasi internal partai politik mutlak diperlukan. Partai harus berani membuka rekrutmen kepemimpinan secara terbuka, transparan, dan berbasis merit.
Kedua, penyelenggara pemilu perlu mendorong perbaikan regulasi yang lebih tegas terhadap potensi konflik kepentingan dalam pencalonan kerabat petahana. Aturan tentang batas waktu, wilayah kekuasaan, serta keterlibatan petahana dalam mendukung kerabat harus diperjelas.
Ketiga, masyarakat sipil harus terus memperkuat kesadaran kritis. Demokrasi akan sehat jika rakyat aktif, kritis, dan berani menolak politik dinasti. Kita tidak boleh terbiasa dengan politik yang diwariskan, bukan dipertanggungjawabkan.
Sudah saatnya kita menegaskan kembali bahwa demokrasi bukan sekadar soal memilih pemimpin, tetapi soal menjamin keadilan, kesetaraan, dan martabat manusia. Jika nepotisme terus dibiarkan menjangkiti demokrasi, maka yang tersisa hanyalah kulit demokrasi tanpa isi. Demokrasi kita akan kehilangan daya koreksi, dan rakyat kehilangan harapan.
Penulis: Eko Zaiwan, Alumni GMNI.