By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Marhaenist
Log In
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar Alumni GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Onward Issue:
Pulau Buru dan Pengarahan Tenaga Kerja Tapol
Ironi di Kawasan HTI RAPP: GMNI Temukan Sekolah Beralas Pasir dan Lansia Terabaikan Fasilitas Kesehatan di Kampar Kiri
Beredar Akun Facebook Palsu Atas Nama Dirinya, Karyono Wibowo: Ada Orang yang tidak Bertanggungjawab – Mohon Abaikan
Andai Bank BRI Jadi Bank Koperasi Seperti Desjardins Bank
Diskusi Publik Persatuan Alumni GMNI Jakarta, Anies Baswedan Tekankan Ekonomi Berkeadilan

Vivere Pericoloso

Ever Onward Never Retreat

Font ResizerAa
MarhaenistMarhaenist
Search
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar Alumni GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Ikuti Kami
Copyright © 2025 Marhaenist. Ever Onward Never Retreat. All Rights Reserved.
Opini

Membaca Ulang Demokrasi Nepotik dalam Politik Indonesia

Eko Zaiwan
Eko Zaiwan Diterbitkan : Jumat, 27 Juni 2025 | 13:36 WIB
Bagikan
Waktu Baca 4 Menit
Foto: Eko Zaiwan, Alumni GMNI/MARHAENIST.
Bagikan

Marhaenist.id – Demokrasi yang kita anut—“dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”—dalam praktiknya telah mengalami berbagai modifikasi. Sistem pemilu langsung, kebebasan berkumpul dan berpendapat, serta eksistensi partai politik merupakan infrastruktur utama demokrasi yang terus dikembangkan sejak reformasi. Setiap pemilu, selalu hadir partai-partai baru yang menunjukkan semangat partisipasi politik warga.

Namun, meski secara prosedural demokrasi Indonesia tampak berjalan, substansi dan etikanya justru terus digerus. Salah satu penyimpangan paling menonjol adalah maraknya demokrasi nepotik, di mana kekuasaan politik diwariskan melalui hubungan darah atau kekerabatan, bukan berdasarkan kompetensi dan integritas.

Fenomena ini makin gamblang terlihat dalam berbagai pilkada dan pemilu. Seseorang bisa dengan mudah dicalonkan menjadi kepala daerah atau anggota legislatif karena statusnya sebagai anak, istri, adik, atau kerabat pejabat sebelumnya. Pemilu pun menjelma menjadi seremoni belaka yang hanya melegitimasi dominasi klan politik yang itu-itu saja.

Dalam konteks ini, demokrasi tak ubahnya kendaraan untuk mempertahankan kekuasaan keluarga. Nepotisme tidak hanya melanggar prinsip meritokrasi, tetapi juga menumpulkan akuntabilitas pemimpin terhadap rakyat. Ketika loyalitas politik diarahkan kepada keluarga, bukan kepada konstituen, maka kebijakan publik rawan tersandera kepentingan pribadi atau kelompok kecil.

Yang lebih mengkhawatirkan, praktik ini kerap difasilitasi oleh partai politik itu sendiri. Alih-alih menjalankan fungsi rekrutmen kepemimpinan berbasis kompetensi, banyak partai justru menjadi kendaraan privat bagi segelintir elite. Tak heran jika kaderisasi macet, dan ruang partisipasi rakyat makin menyempit.

Di sinilah letak persoalannya: demokrasi kita terlalu fokus pada prosedur, tetapi abai pada substansi. Pemilu boleh bebas, partai boleh banyak, dan kebebasan berekspresi dijamin. Namun, jika hasil akhirnya hanya melanggengkan kekuasaan keluarga, maka demokrasi telah kehilangan jiwanya.

Baca Juga:   Amerika Serikat Bakal Jadi Raksasa Crypto? Sementara El Salvador Sukses, Indonesia Masih Terjebak di Bursa Saja!

Krisis kepercayaan dan keadaban

Konsekuensi dari demokrasi nepotik adalah krisis kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Ketika rakyat merasa bahwa suara mereka tak membawa perubahan, maka apatisme politik tumbuh subur. Partisipasi politik jadi formalitas, bukan ekspresi kesadaran.

Dalam jangka panjang, kondisi ini melahirkan stagnasi kebijakan. Pemimpin yang muncul dari jaringan nepotisme cenderung tidak progresif, bahkan anti-inovasi, karena lebih sibuk menjaga harmoni dalam lingkaran kekuasaan. Ruang publik yang seharusnya menjadi arena gagasan, berubah menjadi panggung politik transaksional.

Yang lebih parah, praktik semacam ini memudarkan nilai keadaban dalam politik. Demokrasi bukan sekadar sistem, tetapi juga etika. Ketika prinsip kesetaraan dan kepantasan dikalahkan oleh loyalitas darah, maka yang lahir bukan pemimpin, melainkan pewaris tahta.

Membongkar siklus

Menghadapi kenyataan ini, langkah korektif harus dilakukan di berbagai tingkat. Pertama, reformasi internal partai politik mutlak diperlukan. Partai harus berani membuka rekrutmen kepemimpinan secara terbuka, transparan, dan berbasis merit.

Kedua, penyelenggara pemilu perlu mendorong perbaikan regulasi yang lebih tegas terhadap potensi konflik kepentingan dalam pencalonan kerabat petahana. Aturan tentang batas waktu, wilayah kekuasaan, serta keterlibatan petahana dalam mendukung kerabat harus diperjelas.

Ketiga, masyarakat sipil harus terus memperkuat kesadaran kritis. Demokrasi akan sehat jika rakyat aktif, kritis, dan berani menolak politik dinasti. Kita tidak boleh terbiasa dengan politik yang diwariskan, bukan dipertanggungjawabkan.

Sudah saatnya kita menegaskan kembali bahwa demokrasi bukan sekadar soal memilih pemimpin, tetapi soal menjamin keadilan, kesetaraan, dan martabat manusia. Jika nepotisme terus dibiarkan menjangkiti demokrasi, maka yang tersisa hanyalah kulit demokrasi tanpa isi. Demokrasi kita akan kehilangan daya koreksi, dan rakyat kehilangan harapan.


Penulis: Eko Zaiwan, Alumni GMNI.

iRadio
Bagikan Artikel
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print

ARTIKEL TERBARU

Pulau Buru dan Pengarahan Tenaga Kerja Tapol
Rabu, 26 November 2025 | 23:43 WIB
Ironi di Kawasan HTI RAPP: GMNI Temukan Sekolah Beralas Pasir dan Lansia Terabaikan Fasilitas Kesehatan di Kampar Kiri
Rabu, 26 November 2025 | 12:29 WIB
Beredar Akun Facebook Palsu Atas Nama Dirinya, Karyono Wibowo: Ada Orang yang tidak Bertanggungjawab – Mohon Abaikan
Senin, 24 November 2025 | 11:18 WIB
Andai Bank BRI Jadi Bank Koperasi Seperti Desjardins Bank
Minggu, 23 November 2025 | 07:46 WIB
Diskusi Publik Persatuan Alumni GMNI Jakarta, Anies Baswedan Tekankan Ekonomi Berkeadilan
Sabtu, 22 November 2025 | 22:03 WIB

BANYAK DIBACA

Negara Hukum Berwatak Pancasila
Masa Jabatan Legislatif Tanpa Ujung: Celah yang Mengancam Alam Demokrasi
Presiden Jokowi Resmi Buka Kongres IV Persatuan Alumni GMNI
Pembukaan Kongres IV Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI)
Buka kongres PA GMNI, Jokowi Ajak Alumni GMNI Jaga Kedaulatan dan Menangkan Kompetisi

Lainnya Dari Marhaenist

Omnibus Law Ciptakan Badai PHK Kian Melonjak

Marhaenist - Angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus meningkat. Sepanjang tahun ini,…

Foto:

Kapitalisme yang Menghapus Jejak Peradaban Bangka Belitung

Marhaenist.id - Menyingkap tabir sejarah jauh kebelakang sebelum Indonesia merdeka, masyarakat Bangka…

Meski Cuaca Panas, Ratusan Ribu Massa Tetap Semangat Hadiri Kampanye Akbar Ganjar-Mahfud di GBK

Marhaenist.id, Jakarta - Ratusan ribu warga mulai penuhi Stadion Gelora Bung Karno…

Wujudkan Generasi Emas 2045, DPD GMNI Sulbar Gelar Konferda Ke-II

Marhaenist.id, Mamasa - Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)…

Kecam Dualisme yang Belum Berakhir, DPC GMNI Kendari Desak Dilaksanakan Kongres Persatuan

Marhaenist.id, Kendari - Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)…

Doktrin Ekonomi Karl Marx Bab I

MARHAENIST - Karl Kautsky adalah salah seorang sosialis dari Jerman. Dia memimpin…

Pancasila dan Materialisme Historis: Perspektif Filsafat Ilmu

Marhaenist.id - Pancasila adalah dasar falsafah negara, pandangan hidup bangsa dan norma dasar…

Soroti Keberpihakan Pendidikan Tinggi untuk Mahasiswa Kurang Mampu, GMNI Sampaikan Rekomendasi ke PJ Gubernur Jatim

Marhaenist.id, Surabaya - Dalam rangka Bulan Bung Karno, Dewan Pimpinan Daerah (DPD)…

Jelang Kongres Ke-22, M Ageng Dendy Setiawan Nyatakan Tak Maju Sebagai Calon Ketua Umum DPP GMNI

Marhaenist.id, Surabaya - Jelang kongres GMNI ke-XXII, bursa pencalonan sebagai ketua umum…

Tampilkan Lebih Banyak
  • Infokini
  • Indonesiana
  • Historical
  • Insight
  • Kabar Alumni GMNI
  • Kabar GMNI
  • Bingkai
  • Kapitalisme
  • Internasionale
  • Marhaen
  • Marhaenis
  • Marhaenisme
  • Manifesto
  • Opini
  • Polithinking
  • Study Marhaenisme
  • Sukarnoisme
Marhaenist

Ever Onward Never Retreat

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Kontak
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber
  • ▪️ Kirim Artikel
  • ▪️ Format

Vivere Pericoloso

🎧 Online Radio

Copyright © 2025 Marhaenist. Ever Onward Never Retreat. All Rights Reserved.

Marhaenist
Ikuti Kami
Merdeka!

Masuk ke akunmu

Lupa passwordmu?