Marhaenist.id, Jakarta — Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dalam Rapat Paripurna yang digelar hari ini, namun keputusan tersebut kembali memicu gelombang kritik dari akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan kelompok pro-demokrasi.
Mereka menilai pengesahan dilakukan terlalu cepat, dengan sejumlah pasal yang dinilai masih kontroversial dan berpotensi mengancam kebebasan sipil.
RUU KUHP yang disebut sebagai “reformasi hukum pidana terbesar” sejak era kolonial justru dinilai sejumlah pihak mengandung pasal-pasal yang sensitif dan rawan disalahgunakan. Banyak kelompok menilai bahwa DPR tidak membuka ruang deliberasi publik secara memadai, terutama mengingat besarnya dampak yang akan dihasilkan oleh aturan baru tersebut.
Proses Pembahasan Dianggap Minim Transparansi
Koalisi masyarakat sipil menyoroti bahwa pembahasan menjelang pengesahan berlangsung cepat dan dianggap kurang memperhatikan substansi kritik yang telah disampaikan publik sejak gelombang penolakan pada tahun-tahun sebelumnya. Sejumlah akademisi juga mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation).
Meski pemerintah menyebut telah melakukan ratusan kegiatan sosialisasi, sejumlah pihak menilai proses tersebut lebih bersifat penyampaian informasi sepihak, bukan dialog terbuka untuk memperbaiki pasal-pasal bermasalah. Kritik juga diarahkan pada tidak diberikannya ruang waktu yang cukup bagi masyarakat untuk menelaah draf akhir.
Pasal-Pasal Krusial yang Dipersoalkan
Beberapa pasal dalam KUHP baru masih menjadi sorotan karena dinilai berpotensi membatasi ruang kebebasan warga negara. Di antaranya:
Pasal mengenai penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, yang dikhawatirkan dapat membungkam kritik dan mempersempit ruang demokrasi.
Pasal unjuk rasa tanpa pemberitahuan, yang disebut dapat meng kriminalisasi aksi demonstrasi damai.
Delik kesusilaan, termasuk zina dan kohabitasi, yang dinilai mencampuri ranah privat dan berpotensi menimbulkan diskriminasi dalam penegakan hukum.
Pasal penyiaran berita bohong, yang dikhawatirkan dapat digunakan untuk menekan jurnalis atau aktivis.
LSM dan pakar hukum pidana menilai bahwa sejumlah ketentuan tersebut bersifat multitafsir dan membuka ruang penyalahgunaan oleh aparat atau pihak tertentu.
Ketakutan akan Kembali ke Era Pembatasan Ekspresi
Beberapa analis politik menyebut pengesahan KUHP baru ini berpotensi membawa Indonesia ke era pembatasan suara kritis terhadap negara. Mereka mengingatkan bahwa pasal-pasal penghinaan terhadap penguasa pernah digunakan pada masa lalu untuk membungkam oposisi.
Dengan meningkatnya penggunaan pasal karet di sejumlah kasus hukum selama beberapa tahun terakhir, kekhawatiran publik semakin menguat bahwa KUHP baru dapat memperburuk situasi kebebasan sipil jika tidak diawasi secara ketat.
Desakan Revisi dan Uji Materi
Sejumlah lembaga bantuan hukum dan organisasi HAM telah menyatakan kesiapannya untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menilai bahwa beberapa pasal bertentangan dengan prinsip HAM yang dijamin dalam UUD 1945, terutama terkait kebebasan berekspresi, hak privasi, dan jaminan non-diskriminasi.
Selain itu, muncul desakan agar pemerintah segera menyusun pedoman penegakan yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan, serta membuka kembali ruang evaluasi publik bahkan setelah pengesahan.
Masa Transisi Tidak Menyelesaikan Masalah
Meski pemerintah menyebut KUHP baru akan melalui masa transisi sebelum diberlakukan penuh, kelompok masyarakat sipil menilai masa transisi tidak otomatis menghapus potensi masalah. Menurut mereka, persoalan utamanya bukan pada waktu penerapan, tetapi pada substansi pasal yang dinilai bermasalah sejak awal.
Para pengamat hukum menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan KUHP baru yang lebih progresif dan melindungi warga negara, bukan yang justru berpotensi mengekang ruang demokrasi.***
Penulis: Bung Wadhaar/Editor: Bung Wadhaar.