Marhaenist.id – Di tengah hiruk-pikuk angka pertumbuhan ekonomi, Indonesia kembali dihadapkan pada paradoks lama: ekonomi tumbuh di atas luka sosial dan kerusakan alam. Pemerintah pusat bangga dengan stabilitas makro, namun di baliknya, hutan menyusut, udara kotor, dan desa-desa kehilangan sumber air bersih akibat ekspansi tambang dan perkebunan besar. Bagi mazhab sosialis, pertumbuhan semacam ini bukanlah kemajuan, melainkan gejala penyakit struktural.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa serapan anggaran di tingkat pusat dan daerah masih rendah, rata-rata hanya sekitar 60 persen. Artinya, bukan uang yang kurang, melainkan program yang tidak berpihak kepada rakyat. Anggaran besar mengendap di rekening negara, sementara petani, nelayan, dan pekerja kecil terus bergulat dengan harga yang tak menentu dan akses publik yang minim. Birokrasi kita, seperti kata rakyat dengan getir, “ombes, kerja sedikit, gaji milyaran.”

Dalam pandangan sosialis, ini menunjukkan adanya kelas birokrasi dan elite ekonomi yang telah menjauh dari fungsi sosial negara. Mereka menikmati hasil struktur kapitalistik tanpa benar-benar memproduksi nilai untuk masyarakat. Negara yang seharusnya menjadi alat rakyat berubah menjadi pelayan kepentingan modal dan kenyamanan birokrat.
Mazhab sosialis menolak pandangan sempit bahwa ekonomi hanya diukur dari angka pertumbuhan PDB. Pertumbuhan yang menghancurkan lingkungan, menyingkirkan petani, dan memperkaya segelintir orang tidak bisa disebut kemajuan. Sebaliknya, ekonomi harus dinilai dari sejauh mana ia mampu menciptakan keadilan sosial dan ekologis: kesejahteraan yang merata, kerja yang manusiawi, dan harmoni dengan alam.
Kerusakan alam yang kini merajalela, dari krisis air hingga kebakaran hutan adalah bukti bahwa pertumbuhan yang berorientasi laba telah kehilangan arah moralnya. Alam dieksploitasi habis-habisan demi statistik ekonomi, sementara rakyat yang bergantung pada tanah dan air justru menanggung akibatnya. Sosialisme mengingatkan bahwa manusia dan alam adalah satu kesatuan produksi kehidupan, bukan objek eksploitasi.
Karena itu, solusi sejati bukan sekadar menaikkan anggaran atau mengganti menteri, tetapi mengubah orientasi pembangunan: dari profit ke kebutuhan rakyat, dari pertumbuhan ke keberlanjutan. Rakyat harus dilibatkan dalam perencanaan dan pengawasan anggaran, sementara negara harus menegakkan fungsi sosialnya, menjamin pendidikan, pangan dan lingkungan yang layak untuk semua.
Pertumbuhan sejati bukanlah ketika angka naik, tetapi ketika manusia dan alam sama-sama tumbuh dalam keadilan.
Penulis: Dr. med. vet. Rudi Samapati, Alumni GMNI, FKH UGM.