Marhaenist.id – Demonstrasi di depan Gedung DPR RI pada Kamis (28/8/2025) kembali menyisakan duka, pasalnya seorang teman kita yang berprofesi ojek menjadi korban setelah aparat kepolisian dengan kendaraan taktis Brimob melindas nya saat kericuhan terjadi. Korban yang tengah melintas di sekitar pejompongan, tewas setelah sempat dilarikan ke rumah sakit cipto mangunkusumo.
Video dan kesaksian warga menunjukan bahwa rantis itu menabrak, berhenti, lalu kembali melindas Affan. Tragedi Ini tidak bisa dipandang semata sebagai “kecelakaan lalu lintas”. Tindakan aparat dalam operasi pengamanan demonstrasi menyangkut pelanggaran hak konstitusional sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
Dalam UUD 1945 Pasal 28I ayat (4) berbunyi “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah” dan dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 berbunyi “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”, dalam kedua pasal tersebut kita mengetahui bahwasanya pemerintahan kita dan penegak keamanan di negara kita gagal dalam melaksanakan tanggung jawab dan menjalankan tugas dan fungsinya dalam keamanan masyarakat pada saat kegiatan demonstrasi.
Bukan hanya sekedar itu dalam kegiatan demonstrasi juga dalam konstitusional negara sudah menjamin hak masyarakat dalam melakukan kegiatan tersebut, yang mana sudah dijelaskan pada Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Kematian Affan merupakan simbol keretakan relasi antara rakyat dan aparat. Kepercayaan publik yang sudah rapuh pasca serangkaian kasus kekerasan aparat kini semakin tergerus. Dalam kasus ini Polri gagal menjalankan mandat konstitusional nya.
Apakah nyawa rakyat begitu murah di hadapan kekuasaan ? Apakah aparat boleh berlindung di balik kata “kelalaian” sementara video dan saksi mata menunjukan rantis melindas korban lebih dari sekali.
Kapolri memang telah menyampaikan permintaan maaf dan Propam sudah memeriksa tujuh anggota Brimob yang ada di dalam rantis. Namun, publik tahu permintaan maaf tidak menghidupkan kembali Affan.
Keadilan sejati hanya akan lahir jika ada:
1. Proses Hukum pidana yang transparan hingga pengadilan.
2. Sidang Kode Etik Polri dengan sanksi tegas, bahkan pemecatan
3. Perombakan SOP pengamanan demonstrasi agar aparat tidak lagi “berperang” melawan rakyat
4. Kapolri dengan terbuka mengundurkan Diri dari Jabatannya.
Korban tidak boleh menjadi korban yang dilupakan, ia harus tetap menjadi bara yang membakar kesadaran publik bahwa di bawah roda Rantis, konstitusi dan kemanusiaan diinjak.
Kita harus turun bersama, kawal proses hukum, dan tuntut bukan sekadar permintaan maaf tapi penegakan hukum yang nyata, sidang pidana terbuka, sidang etik yang transparan, dan sanksi berat bagi pelaku hingga pucuk pimpinan bertanggung jawab.***
Penulis: Fadhlur, Kader GMNI Bangka dan Mahasiswa Polman Babel.